01.

42 6 10
                                    

Hari ini aku dan Chan pergi ke sekolah menggunakan motor matic kesayangan Chan. Motor ini hadiah ulang tahun aku dan Chan di usia ke 17 tahun lalu tapi kebetulan cuma Chan yang sudah punya SIM jadi aku kemana-mana harus bergantung pada Chan. Papa belum bolehin aku bawa motor sendiri. Sebenarnya ribet sih karena sekarang aku dan Chan sering punya kegiatan yang berbeda, cuma ini memang keputusan Papa katanya aku agak barbar kalo naik motor dan belum lulus ujian SIM. Hmm, padahal Chan juga tidak jauh beda kalo bawa motor suka ngebut-ngebutan.

"Chan, gue laper. Bubur ayam Pakde Dudung depan gang keknya enak deh," Aku membujuk Chan sambil menempelkan dagu di bahunya.

"Kebiasaan si lu, makanya kalo pagi tuh bangun cepet biar bisa sarapan," jawab Chan tanpa menghiraukan permintaanku. Akhir-akhir ini aku memang susah sekali tidur lebih awal. Lihat saja, mataku semakin berkantung dan gelap. Tampaknya aku perlu membeli eye cream nanti.

"Gua laper, Chan pengen makan bukan pengen diomelin,"  keluhku masih memegangi perut yang sedang ribut.  Bukannya berhenti di tukang bubur ayam yang aku minta, Chan malah berhenti gerobak gorengan di seberang gang.

"Beli gorengan aja makan di jalan, kita udah hampir telat ini," perintah Chan sambil menghentikan motornya.

"Yang ada gua makan debu, Chan. Tega amat sama adek sendiri!" seruku menolak.

"Mang, gorengan 5 ribu banyakin bakwannya," Bukan, itu bukan Chan. Itu aku, hehe. Aku tau jika Chan tidak akan merubah pikirannya karena tidak mau terlambat sampai ke sekolah jadi aku harus mengalah. Lagi pula memang salahku yang terlambat bangun.

"10 ribu ege gue juga laper belom makan," protes Chan.

Dengan cepat kami melanjutkan perjalanan ke sekolah, jalanan yang lumayan padat membuat Chan berkonstrasi penuh membelah kemacetan. Tuh kan, aku bilang juga apa. Dia berasa seperti pembalap jika sudah begini. Aku pun makin mengeratkan pegangan pada pinggangnya tanda bersiap.

"Chi, tahu sabi lah," pinta Chan padahal baru saja aku fokus pada jalanan. Aku dan Chan memang pernah beberapa kali makan di atas motor jika sedang kepepet tapi tidak untuk ditiru ya hanya dilakukan oleh profesional terlatih. Lagi pula aku dan Chan juga pernah ketahuan Om Doni lalu dia memberitahu papa dan pastinya papaku marah-marah.

"Bentar, gue cari dulu. Nah, mangap mana sini.. EEH YA ALLAH CHAN GAK MELENG JUGA MATA LU DI DEPAN ADA AMANG CILOK JANGAN DITABRAK!" teriakku saat Chan tiba-tiba rem mendadak.

Inilah bunda pentingnya tidak melakukan atraksi di jalan raya. Hampir saja Chan menabrak tukang cilok yang sama-sama hendak memotong jalan.

"Si anjing, jadi jatoh kan tahu gue," Chan kesal tahu di tanganku jatuh, padahal adiknya sendiri juga bisa jatuh tapi dia tidak peduli.

"Mulut lu ya!" tegurku memukul kepalanya.

"Adeek, berangkat sekolah ya," Tiba-tiba seorang bapak-bapak lewat menggodaku.

"GUA BUKAN ADEK LU, ANJEENG!!" teriakku sambil melotot ke arahnya.  

"Kejar, Chan! Gak terima gua, emang bangsat tuh bapak-bapak!" Chan tidak menjawab, hanya diam melihatku dari kaca spion.

Jika kalian menebak Chan akan menuruti perintahku untuk mengejar orang itu, kalian salah. Justru dia lebih bisa mengontrol diri dan tenang, jauh berbeda denganku. Aku harus mengakui ini tapi papa pun beberapa kali sampai pusing melihat kelakuanku yang emosian apalagi jika menyangkut harga diri seperti tadi.

Chan menarik napas dalam-dalam lalu menarik tanganku agar memeluknya,"Gua mau ngebut, pegangan. Ntar lu terbang," gumamnya.

Long story short, aku dan Chan baru saja naik kelas 12. Kami sama-sama berada di jurusan IPA, hanya saja beda kelas. Aku di kelas 12 IPA 2 dan Chan 12 IPA 1. Aku sebenarnya agak kewalahan berada di kelas IPA karena kemampuanku lebih condong pada Bahasa tapi sayangnya di sekolahku belum ada jurusan Bahasa jadi aku terpaksa mengikuti kemauan papa untuk tetap berada di kelas IPA. Alasannya agar lebih mudah memilih jurusan di perkuliahan nanti.

LACUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang