Cermin Sria Kandi

2 0 0
                                    

Sria Kandi—anak asuhan Widjaja Kusumatsuri sejak umurnya belum ganjil tujuh tahun—meletakkan jari telunjuknya pada cairan kental dalam wadah bulat, yang kemerahan melekat pada kulitnya lalu diangkat menuju ke dua daging tipis. Dia melukiskan gincu ke atas bibir bawahnya, bibir atasnya mengecup yang bawah untuk meratakan cairan berasa ceri, jemarinya sekali lagi bekerja untuk membantu merapikan kecantikannya.

Selesai memoleskan gincu, ia membersihkan tangannya, menotol bekas merah pekat ke sebuah kapas putih dan mengotorinya hingga ia sendiri bersih. Sria berhadapan dengan cermin, memperhatikan hasil dari tangannya.

Warna merah merekah apik di bibir, cemerlang dan membuatnya penuh. Indah. Mempesona. Wanita itu tahu tarikan yang terasa di kedua pipinya hanya menambah kecantikan yang sudah disematkan tuhan pada takdirnya, Sria tersenyum dengan anggun. Namun, dia yang lain tidak melakukan hal sama. Bahkan berbalik, rautnya kusam, cemberut seakan hari itu ada hewan buas datang dan mengobrak-abrik kebahagiaannya.

"Sat Pepe," panggil Sria sambil memejam mata, ia memundurkan kepala lalu membuka kelopaknya. Melihat langsung bagaimana bayangannya berubah menjadi seorang pemuda, tulen juga berkarisma, rambutnya yang bak untaian malam digerai hingga dada.

Matanya tak lagi mengikuti arah gerak Sria, bahkan memilih kabur agar tidak memenuhi coklat gelap Dak-nya. Di lain sisi, Sria terkekeh.

"Aku akan memberitahu Apta Widjaja kalau kau terus bermain dalam cermin riasku." wanita itu mulai menyisir rambutnya yang hampir serupa An-nya, malamnya tak selarut milik Pepe.

"Sola," bisik Pepe bersama bibir kerucutnya. "Jangan begitu, Dak, kalau Apta tau aku bakal dihukum dan—"

"—dan kau bakal dilarang menggunakan kekuatan ini lagi."

Pepe makin cemberut, mukanya semakin gelap mendengar potongan kalimat dari Sria. Wanita itu sendiri hanya bersenandung mengetahui air muka An-nya yang tak sedap.

"Makanya dengarkan kata Dak, ya?" Sria meminta.

Pepe mengangguk menanggapinya. "Iya, Dak Sria."

"Pepeanku pintar."

Mengerling, Sria kini usai mengikat rambutnya, helai-helai hitam itu terangkat ke atas bak ekor kuda yang bersinar ditimpa cahaya dari lilin-lilin di pinggir meja. Saudara kecilnya sendiri masih duduk manis memperhatikan yang tertua merapikan diri, sampai ketika Dak-nya itu melotot kepadanya, Pepe terlonjak mundur mendapat pandangan itu. Hendak bertanya apa ada masalah, Sria malah telah menarik Pepe keluar dari cermin itu.

Panik merajai wajah Sria sedangkan pemuda di genggamannya kebingungan, kenapa Dak Sria tiba-tiba melakukan hal itu, begitulah pikir Pepe. Sebelum ia berbalik, dan sedetik mengetahui seseorang tengah memandanginya balik dari cermin, tempat ia tadi singgah. Pepe seketika merasa dingin, bulu kuduknya naik.

"Ya-Yatagumilana."

Empunya rambut sepundak terbata, menyebut istilah untuk panggilan salah seorang keluarga dalam bangsanya. Itu adalah Yatagumilana-nya, kakeknya, Buwono Sudji Kandi, pria yang hilang lima tahun lamanya.

Apa ... apa yang membuat dia ada di sana?

Belum sempat Pepe membuka pembicaraan dengan orang tua berambut putih dan abu itu, kakaknya, Sria, memecahkan cermin dengan membabi buta. Dak melemparkan lilin-lilin indah ke cermin, bahkan menumpahkan cairan gincunya ke arah kaca, merah mewarnai sekujur meja.

"Dak," panggil yang termuda dengan takut, tangannya masih dicengkeram sang wanita. "Dak? Dak!" Pepe memanggil Sria lebih keras, dan beruntung itu bekerja.

Kamar Sria menjadi kacau, berantakan, merah kental dicat ke berbagai tempat. Barang-barang yang pecah dan jatuh ke mana-mana, tapi tidak ada yang sekacau dan seberantakan mimik wajah Dak-nya.

"Dak?"

Sria segera memeluk pemuda itu, sosoknya yang tadi kelihatan mengerikan dan menyeramkan luntur, menjadi seorang kakak lemah lembut. Rambut hitam Pepe diusap pelan, pelukannya semakin erat tiap usapan, dan An kecil ini tidak bisa paham apa permasalahan Dak-nya dengan Yatna mereka, Buwono.

Pepe bisa mendengar gertakan gigi juga pelukan keras yang hampir meremukkan tubuhnya. "Buwono, Kajin tak tahu diri itu. Lengsek sekali dia, berani menyentuh adikku," geram Sria.

Dak-nya tidak lagi menyebut An sebagaimana itu adalah istilah panggilan adik untuk bangsanya, bagi mereka kata adik terdengar terlalu vulgar untuk diomongkan. Namun, di sini, Sria mengutuk-kutuk Buwono dengan kata kasar bangsa mereka dan menyebutnya sebagai adik.

Bagi Pepe, yang merasa istilah bangsa manusia lebih indah dan baik, ia senang mendengar itu. Tapi, ia juga takut, Sria bisa saja membunuhnya dengan pelukan itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 30, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Goresan KataWhere stories live. Discover now