01. Gumilang Harsana Astrajingga

92 82 72
                                    

Sejuknya angin yang berembus pelan di pagi hari menjadi awal baik dimulainya segala aktivitas. Mentari mulai menyapa dengan malu-malu. Burung-burung kecil berkicau merdu pada ranting-ranting pohon yang masih lembab dengan embun-embun kecilnya yang berjatuhan di ujung dedaunan.

Hangatnya sinar matahari menelusup ke celah-celah jendela sebuah kamar bernuansa hitam-putih. Kamar yang tertata rapi itu dihuni oleh sesosok pemuda yang saat ini sedang berdiri menghadap sebuah cermin besar. Tangan pemuda itu bergerak lihai membuat simpul dasi hingga terpasang apik. Rambut kecokelatannya yang kelimis tertata rapi, pun dengan seragam sekolah yang dipakainya.

Tok tok tok!

Ketukan pada pintu kamar terdengar, mengalihkan fokusnya. Ia berjalan lalu membuka pintu. Terlihat seorang wanita paruh baya berdiri dengan lap kain tersampir di bahunya.

Garis senyum pemuda itu tertarik, "Kenapa, Bi? Sarapannya udah siap?" tanya nya.

Sang wanita yang merupakan asisten rumah tangga di rumah tersebut mengangguk seraya ikut tersenyum, "Iya, Nak. Bibi sudah siapkan sarapannya. Nak Harsa cepat turun ke bawah, 'ya? Ada Bapak juga di sana." jelasnya.

Harsa, pemuda tersebut sedikit melunturkan senyumnya kala mendengar perkataan terakhir Bi Inah. Ia mengangguk pelan, "Iya, Bi. Sebentar lagi Harsa turun."

"Ya sudah, kalau begitu bibi kembali ke bawah dulu." Bi Inah pamit melangkah menuruni anak tangga. Meninggalkan Harsa yang bergeming di ambang pintu.

Harsa lantas bergegas masuk ke dalam kamar dan mengambil tas di kasur. Ia kembali menutup pintu kemudian turun. Melangkah menyusuri rumah hingga sampai di ruang makan. Matanya langsung mendapati sosok pria dewasa sedang duduk di kursi seraya menyantap makanan. Di sampingnya, anak perempuan berumur lima tahun ikut duduk sembari memegang sebuah boneka kecil.

Harsa melangkah perlahan mendekati keduanya. Tarikan pada kursi yang dirinya lakukan membuat sosok pria itu mendongak dan menatap ke arahnya.

Pria tersebut berdehem kecil sembari membenarkan letak dasi yang dipakainya, "Duduk."

Harsa mengangguk pelan kemudian duduk dengan tenang. Ia memperhatikan anak perempuan yang saat ini tengah menatapnya dengan lugu, detik kemudian mengalihkan tatapannya kembali pada pria itu.

"Tumben Ayah pagi-pagi ke sini, bawa Senja juga. Ada apa?" tanya Harsa memulai percakapan.

"Hari ini kamu masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Ayah hanya ingin memastikan. Sekarang kamu sudah kelas tiga, satu tahun lagi kamu akan lulus SMA." Ucap pria itu tanpa ekspresi. Matanya menatap lekat pada Harsa, "Ayah minta kamu jangan main-main, Harsa. Jangan sampai penurunan nilai dan prestasi kamu terulang lagi." lanjutnya menegaskan.

Harsa terdiam sejenak kemudian tersenyum pahit. Jadi, pria itu datang ke rumah pagi-pagi sekali hanya untuk membicarakan hal ini? Harsa tak habis pikir. Ternyata semuanya masih sama, tidak ada yang berubah sama sekali. Ayahnya masih tetap teguh dengan sifatnya yang ambisius dan selalu menginginkan sebuah kesempurnaan.

"Harsa cuma turun satu peringkat, Yah, itu nggak akan terlalu berpengaruh, bukan?" balasnya dengan suara pelan.

"Cuma kamu bilang?" Haris terkekeh sinis, "Sudah berapa kali ayah bilang Harsa, ayah tidak suka dengan hal-hal yang tidak sempurna. Mau itu kamu turun satu peringkat atau dua peringkat, bagi ayah kamu harus tetap mendapatkan peringkat yang paling teratas." Tekannya.

"Mulai sekarang jangan main-main lagi. Kamu harus belajar dengan giat. Kurangi pergi bermain bersama teman-teman kamu. Ayah akan pantau kamu setiap hari. Dan, ingat, jangan sampai kali ini kamu mendapatkan nilai yang tidak memuaskan. Itu akan sangat mengecewakan bagi ayah, Harsa." Tukas Haris.

Pesawat Kertas (HIATUS)Where stories live. Discover now