Past-13.

29 20 109
                                    

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Arasta menyender ke kursi mobil. Begitu pula dengan Artsa dan Winteren. Olimpiade udah selesai, tetapi Arasta masih merasa gak tenang karena menunggu hasilnya. Apalagi ketika tadi saat sesi cepat-cepatan, tim Teguh yang menang.

Arasta sebenarnya juga kurang yakin dengan Winteren si peringkat lima itu. Saat semester satu, kelompok mereka juara tiga karena bagian Kimia nilainya kurang maksimal, bagi Arasta dan sekolahannya.

Arasta yang lagi merenung memikirkan hasil point mereka. Kalau kata anak zaman sekarang, overthinking. Sedangkan Artsa memejamkan matanya erat. Kepalanya pusing banget, apalagi soal Fisika tadi gak bisa dibilang mudah. Udah soalnya gak mudah, jumlah soalnya ada 100 soal lagi.

Jika dirinya ada di sebuah anime, Artsa yakin di atas kepalanya bakalan ada uap seakan-akan kepalanya lagi mengebul. Fyi, walaupun Artsa seorang yang lumayan kutu buku, tetapi dia juga seorang anime lovers. Bahkan saat kelas 7, dia sering dibilang wibu. Padahal anime lovers sama wibu itu berbeda tau! Huh, Artsa kesal jika mengingatnya lagi.

Back to the topic. Beberapa menit kemudian, mobil kepala sekolah memasuki gerbang sekolahan. Arasta melihat arlojinya, pukul 11.05. Ternyata lokasi tempat olimpiade ke SMP Malovoline perlu 35 menit. Setengah jam lebih 5 menit, Arasta baru tau kalau bakalan selama itu.

Arasta, Artsa, dan Winteren langsung berlari menuju ke kelas A. Artsa memikirkan pelajaran apa yang lagi dipelajari saat ini. Pukul 11.05, berarti sekarang lagi pelajaran IPS. Artsa mendengus, pelajaran itu adalah pelajaran yang paling dibenci oleh Artsa.

Tok, tok, tok.

Arasta mengetuk pintu kelas A, dan membuka pintunya secara perlahan.

"Silakan langsung duduk di bangku masing-masing."

Arasta, Artsa dan Winteren membungkukan badan 45° dan secara serentak mengucapkan. "Baik bu."

Bu Jia, sang guru pelajaran IPS mulai berbicara lagi. "Kita akan lanjutkan sekarang. Sekarang saya ingin menanyakan pertanyaan agar saya tahu kalian mendengarkan penjelasan saya tadi atau tidak."

"Sesuai penjelasan saya tadi, kita bisa hidup tanpa uang atau tidak? Ayo angkat tangannya jika jawaban kamu bisa hidup tanpa uang."

Arasta mengernyit, hidup tanpa uang? Kayaknya mustahil, deh. Apalagi di zaman modern kayak begini. Yang ikut olimpiade tadi pun berpikiran sama, karena mereka kurang mengerti kalau mereka gak mendengarkan penjelasan dari sang guru.

Chenlio, Vikent, Yelvita mengangkat tangannya. Guanival melongo, what?

Bu Jia mengerjapkan matanya. "Hanya tiga orang? Yakin?"

Guanival mengangguk. "Iya bu. Sangat mustahil kalau kita bisa hidup tanpa uang apalagi di zaman modern kayak begini." Artsa yang mendengar jawaban Guanival diam-diam setuju.

"Baik, untuk yang memilih tidak bisa hidup tanpa adanya uang silakan pilih perwakilan untuk mengatakan alasannya."

"Jika kalian mengatakan alasan yang bisa saya setujui, maka akan ditambahkan nilai untuk kalian semua dan mereka bertiga tidak akan mendapatkan nilai tambahan. Jika alasan tiga orang ini yang saya setujui, maka mereka bertiga yang akan mendapatkan nilai tambahan dan kalian semua yang tidak dapat nilai tambahan."

"Chenlio dan Yelvita, saya pilih kalian untuk menjadi perwakilan bisa hidup tanpa uang."

Melihat Chenlio yang dipilih, Arasta gak mau kalah dan dia maju ke depan untuk menjadi perwakilan. Chenlio berdecih, dia lagi, dia lagi. Yelvita tersenyum kikuk sambil melirik kearah Chenlio dan Arasta, suasana di sini jadi menegangkan banget.

"Satu lagi untuk perwakilan tidak bisa hidup tanpa uang. Karena tidak ada yang maju, saya pilih Artsa."

Artsa mengerjap dan langsung berjalan ke depan. Mereka akan mengatakan alasannya di depan papan tulis. Murid-murid yang lain memperhatikan mereka berempat dengan serius. Guanival bahkan penasaran kenapa sepupunya bisa memilih bisa hidup tanpa uang.

"Oke, dimulai dari Arasta dan Artsa."

"Sesuai yang Bu Jia tau, bahwa hidup tanpa uang itu mustahil dikarenakan zaman modern saat ini. Dari bahan pangan, tempat tinggal, sampai pakaian harus dibayar oleh uang." Artsa yang memulainya terdahulu.

Arasta mengangguk. "Jika tanpa uang, kita gak bakal bisa membayar bahan pangan sampai tempat tinggal. Bahkan air untuk di minum aja harus dibayar dengan uang. Sedangkan kalau gak bisa membeli bahan pangan untuk di makan, kita bisa aja mati kelaparan. Kalau tanpa air, kita bakalan dehidrasi karena kurang cairan dalam tubuh."

"Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk bertahan hidup. Manusia hanya bisa bertahan hidup selama 3 hari tanpa air. Di zaman modern kayak begini pasti bakalan butuh teknologi untuk saling berkomunikasi. Sedangkan teknologi memerlukan uang untuk membayarnya."Ucap Artsa menambahkan.

Bu Jia mengangguk-angguk. "Silakan untuk kalian berdua memberi alasannya."Ucap Bu Jia kepada Chenlio dan Yelvita.

"Kita masih bisa menggunakan barter, bu. Untuk saling berkomunikasi dan berinteraksi, kita bisa menggunakan surat tanpa menggunakan teknologi modern." Yelvita mengucapkannya dengan santai membuat Chenlio menghela napasnya pelan.

"Tapi kalau dilihat-lihat, untuk menggunakan barter pada zaman modern itu udah jarang banget di pakai, mungkin udah gak ada yang pakai. Yakin bakalan bisa menggunakan barter? Sedangkan surat, pasti kita butuh kertas, alat tulis, dan amplop. Apa iya bakalan bisa membuat surat kalau tanpa membayar peralatannya?" Arasta membalas ucapan Yelvita dengan cepat sambil tersenyum kemenangan.

Situasi semakin memanas dan makin seru. Bahkan ada beberapa murid yang memvideokan.

Chenlio yang melihat Arasta tersenyum kemenangan langsung mengangkat tangannya. "Biarin giliran saya yang kasih pendapat saya."

Arasta menatap remeh seraya melipatkan tangan di depan dada. Artsa menelan ludahnya gugup lalu melirik ke kembarannya dan menghela napasnya pelan. Ayolah, jangan terlalu percaya diri dulu sekarang.

"Baik, silakan Chenlio." Bu Jia mempersilahkan.

"Jika dilihat dari manusia zaman dahulu, emang benar yang dikatakan oleh Yelvita, masih bisa menggunakan barter dan apa yang dikatakan oleh Arasta juga gak salah karena zaman sekarang pasti sedikit yang menggunakan barter."

Artsa mengernyitkan dahinya. Lah?

"Tetapi kalau dipikirkan secara logika lebih dalam lagi dan menurut penjelasan ibu guru, manusia itu hidup menggunakan nyawa, bukan uang. Manusia juga membutuhkan oksigen untuk bernapas dan hidup, maka dari itu yang kita butuhkan adalah hutan bukan uang. Hutan adalah penyebab adanya udara bersih yang bisa membuat kita bernapas. Jika tanpa adanya hutan, kita bakal sesak napas, akan terjadi pemanasan global dan lain-lain." Chenlio menjelaskan panjang lebar. Guanival melongo, pemikiran peringkat pertama emang berbeda ya.

Chenlio menghela napas pelan. "Toh, dari dulu manusia aja bisa hidup sebelum adanya uang. Zaman sekarang aja pada berpikiran sempit."

Ucapan Chenlio yang tampaknya menyindir membuat semuanya mematung, kalau berbicara jangan terlalu jujur tolong. Arasta menggertakkan giginya kesal. Brengsek.

Murid-murid kelas 8A, dan Bu Jia bertepuk tangan dan mempersilahkan Arasta, Artsa, Chenlio dan Yelvita duduk kembali.

"Benar banget apa yang dikatakan oleh Chenlio tadi. Manusia itu hidup dengan apa? Nyawa, jadi yang mendapatkan nilai tambahan tadi adalah mereka bertiga. Maka dari itu, kalian jangan kepikiran uang, uang, uang terus." Ucapan Bu Jia membuat semuanya -kecuali Chenlio, Vikent, Yelvita- tersenyum kikuk.

"Silakan-"

Tok, tok, tok.

Pintu kelas diketuk, membuat semua pandangan kearah pintu.

"Masuk."Ucap Bu Jia.

Pintu mulai terbuka. Ada kepala sekolah dengan seorang siswi di sebelahnya.

Chenlio mematung. Chenlio tau jelas siapa yang ada di sebelah kepala sekolah.

Kila?




A/N.
Di kelas 7, pas pelajaran IPS, kelas gue bener-bener debat hal bisa hidup tanpa uang atau enggak. Kalo diinget-inget lagi, jujur seru banget pas itu WKWKWKW.

[2] Past.Where stories live. Discover now