Past-03.

50 38 313
                                    

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

   
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

BYUR.

Vikent yang habis keluar dari bilik toilet langsung menutup matanya karena merasakan ada cairan yang mengenai tubuhnya. Vikent membuka matanya, dia merasakan seragamnya yang basah kuyup, ugh.. basah banget, mana dia gak bawa baju ganti.

"Aduh, kok bisa ada penerima beasiswa di sekolah ini sih?"

Ejekan itu membuat Vikent memejamkan matanya sekejap. Dirinya di bully. Udah Vikent duga, dirinya bakal di bully karena dia adalah penerima beasiswa di sini. Vikent melihat nametag yang mengejeknya tadi, Junan Seondra, 8E.

Oh. Dari kelas E ternyata, pantes aja etikanya minim. Kelas E dan F terkenal dengan sifat berandalannya. Bahkan saat semester satu sebelum Vikent pindah ke sini, Arasta yang menjadi ketua OSIS sering kewalahan menghadapi mereka. Sifat berandalannya udah bener-bener di another level.

Makanya Arasta lebih memilih undur diri menjadi ketua OSIS walaupun belum sampai satu tahun. Selain gak sanggup mengurus kelas E dan F, Arasta ini adalah anak olimpiade, karena terpaksa sih.

Iya terpaksa, Arasta di suruh ikut olimpiade untuk perwakilan sekolahnya karena di tunjuk secara tiba-tiba oleh kepala sekolah. Mau tak mau harus mengikutinya karena percuma aja menolak, kan?

Yang ikut olimpiade ini ada tiga orang, murid peringkat lima di kelas A, si Winteren, lalu ada Artsa, dan yang terakhir Arasta. Sebenarnya, yang ikut olimpiade itu Chenlio, bukan Arasta. Namun entah kenapa orang tua Chenlio secara tiba-tiba datang ke sekolah dan menyuruh kepala sekolah untuk mengeluarkan Chenlio dari olimpiade.

Kata mereka, agar Chenlio lebih fokus belajar tanpa memikirkan bebannya sebagai anggota yang mengikuti olimpiade. Tapi mereka bilang, saat SMA kelas 1, biarkan Chenlio aja yang mengurus olimpiadenya lagi. Orang tua Chenlio adalah orang teraneh yang pernah kepala sekolah temui, serius.

Sebenarnya juga, kayak begitu gak diperbolehkan. Namun karena orang tua Chenlio mengancam kepala sekolah, mau gak mau kepala sekolah menyetujui permintaan mereka.

Dengan terpaksa kepala sekolah saat itu, memilih Arasta untuk mengikuti olimpiade. Kesimpulannya, Arasta di sini hanya untuk menggantikan Chenlio sementara sampai kelas 9 nanti, karena SMP dan SMA di sekolah ini, satu sekolah.

SMP Malovoline dan SMA Malovoline.

Kaca mata milik Vikent di ambil secara tiba-tiba membuat Vikent agak terserentak. "Wah, bagus juga nih kaca mata. Yah.. tapi sayangnya bakal gue rusakin." Ucap temannya Junan, Genta Buanaksa, dengan wajah sedih yang di buat-buat. Genta mengambil kaca mata Vikent dan melemparkannya ke lantai lalu menginjaknya.

Vikent menganga ketika melihat kaca matanya udah hancur di bawah sana. Bukan, bukan karena dia gak bisa membaca tanpa kaca mata, Vikent masih bisa membaca tulisan tanpa kaca mata karena minus yang di milikinya hanya 1,5 aja. Tetapi karena kaca mata ini, adalah hasil kerja kerasnya untuk mendapatkan uang dengan bekerja.

Harga kaca mata minus dengan kualitas bagus, harganya gak murah. Sekitar Rp. 400.000 keatasan lah. Untuk mendapatkan vitamin dari dokter dan periksa mata ke dokter biayanya juga gak murah. Dirinya gak mau merepotkan pamannya, udah cukup dia merepotkan pamannya selama ini.

Ya walaupun dia pindah ke Jakarta pada akhirnya memakai uang pamannya juga.

"Ternyata muka dia ganteng juga, gue kira gak bakal punya visual."Celetuk teman Junan yang lain, Tahiro Otsukasi.

[2] Past.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang