8. Futsal Ineffable

3 0 0
                                    

Bintang baru saja hendak masuk ke kamarnya sebelum Abisheka menyebut namanya.

"Bi, baru balik?"

Bintang mengangguk, "Daftar eskul dulu."

"Jadi masuk futsal?"

Bintang mengangguk dan melanjutkan niatnya masuk ke kamar. Setidaknya dia bisa beristirahat dari interaksi antar manusia jika sudah berhasil masuk ke kamar.

Ceklek!

Abisheka yang sejak tadi memang hendak memberikan makanan untuk Bintang turut masuk ke kamar Bintang, tentu saja setelah mengetuknya. Laki-laki itu meletakkan piring dan minuman yang dibawanya di atas meja belajar dan turut duduk di kursi.

"Udah ngecek struktur kepengurusan futsal?" Abisheka bersandar di punggung kursi, meluruskan kakinya.

Bintang sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu. Artinya, memang ada sesuatu yang belum diketahui Bintang. Bintang menoleh ke arah kakaknya itu meminta jawaban.

"Mas di futsal juga, gantiin pembina yang sakit. Udah jalan 3 bulan dari semester lalu. Gak papa?" Abisheka hanya tidak ingin nanti Bintang terganggu dengan kehadirannya.

Bintang terdiam sejenak sebelum kembali melakukan aktifitasnya. Terlalu labil rasanya jika langsung keluar dari ekskul hanya karna informasi yang diberikan kakaknya barusan. Lagian, pasti Abisheka sengaja. Kalau tidak, seharusnya dia memberi tahu hal ini saat menanyakan Bintang kemarin, kan?

"Ya udah, di makan ini. Ntar malem bantu Mas siapin makan malem, ya."

Bintang mengangguk tanpa melihat Abisheka. Laki-laki itu tersenyum paksa dan berlalu dari ruangan adiknya itu. Benar, dia sudah menebak bahwa tidak mungkin Bintang memutuskan keluar dari eskul hanya karena ada dirinya. Bagus, semoga ini salah satu jalan memperbaiki interaksi mereka.

***


"Pa, akhir bulan Cahaya katanya ada kegiatan pertukaran pelajar SMP. Dipilih gurunya." Sivia membuka pembicaraan setelah diam yang cukup panjang di meja makan.

Abisheka yang tengah sibuk membereskan bekas makan bersama Bintang melirik mama dan papanya. Sepertinya akan ada perdebatan ringan nantinya.

"Caya, itu yang masih kotor bawain ke Mbak Bintang, biar sekalian dicuci." Cahaya merengut namun melaksanakan perintah Abisheka.

"Akhir bulan? Dibiayai?" tanya laki-laki yang menjadi kepala keluarga di rumah itu.

"Ya kali dibiayai, ya bayar sendiri, lah!"

"Kalo bayar sendiri, biasanya bukan dipilih, tapi mengajukan."

"Papa gak percaya sama anak sendiri?"

"Bukan gak percaya, Ma. Emang gitu kebenarannya. Lagian, Papa juga bisa bilang apa? Kalian, kan, tau sendiri sekarang keadaannya gimana. Atau selama Mama ngatur uang rumah ada tabungan?" Sebenarnya ada sindiran dalam kalimatnya barusan. Dia juga mengerti istrinya itu terlalu boros dalam menggunakan uang. Namun tidak terpikirkan bahwa mereka akan berada dalam posisi saat ini.

"Papa, tuh, gitu. Anaknya mau berkembang gak didukung! Nanti kalo santai-santai aja ditanyain kegiatannya apa. Tapi kalo yang itu, semua diusahain!"

"Siapa? Bintang? Dari SMP Bintang apa-apa pake duit sendiri kalo mau ikut kegiatan."

Bintang menoleh ke belakang saat mendengar namanya disebut. Bahkan dia sudah mendengar perdebatan di meja makan dari dapur. Sepertinya memang tidak bisa jika keluarga ini susah sedikit saja. Ribut sekali.

Am I a Star?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang