5. Keadaan Finansial

4 2 0
                                    

Mereka sedang makan malam bersama di ruang makan. Tidak ada suara selain detik jam dinding dan dentingan alat makan. Semua orang tahu bahwa sang kepala keluarga hendak mengatakan sesuatu.

Setelah selesai makan, mereka enggan beranjak dari kursi masing-masing. Masih percaya bahwa ayahnya ingin berbicara.

"Ngomong aja, Pa." Abisheka selaku anak tertua membuka percakapan.

Alam ragu-ragu menatap anaknya satu per satu. "Jadi ... kerjaan Papa belum membaik sampai saat ini. Papa udah ngomong sama Mama, sepertinya kita harus berhentikan semua ART. Jadi Papa harap, kalian bersedia bantu-bantu Mama ngurusin rumah."

"Tapi, kan ... ada Mas Abi, Pa? Emangnya gaji Mas Abi gak cukup ditambahin punya Papa?" Cahaya menyeletuk dan ditatap horor oleh mamanya.

"Bisa kalau cuma ngomongin uangnya. Tapi kan Mas mu mau nyimpen untuk lanjut S2. Papa janji satu bulan ke depan segera membaik."

"Kalo Caya mau pindah ke sekolah negeri, sih ... bisa." Abisheka terkekeh setelah mengucapkan hal itu. Dia tau adiknya itu akan bad mood jika diiming-imingin pindah sekolah.

"Papa cuma mau ngomong itu aja, sih. Bintang sama Cahaya, nanti bantu-bantu Mama di rumah, ya."

"Mulai kapan mereka berhenti?" Bintang mengeluarkan suaranya.

"Mungkin mulai malam ini, besok pagi mereka udah harus pulang."

Bintang mengangguk paham, "Aku ke kamar," lanjutnya.

"Gimana Bintang di sekolah?" Abisheka yang ditanyai diam sejenak sambil memandangi punggung adiknya yang akhirnya hilang di balik pintu.

"Baik-baik aja, Pa. Bintang jadi ketua kelas. Yang beda, kan, cuma sekolahnya, Bintang masih gak berubah. Dia pasti bisa kok nyesuaiin diri. Lagian ada Abi juga di sana, kan?" Abisheka meminta papanya untuk tidak khawatir.

"Adaptasi apaan coba? Mbak Bin itu bukan beradaptasi, ya memang dari sononya begitu. Di sekolah kita dulu juga sendirian mulu, apanya yang adaptasi." Cahaya beranjak dari meja makan setelah mengoceh tentang sikap Bintang di sekolah.

"Papa tuh terlalu manjain Bintang, tau."

Abisheka dan papanya menoleh ke asal suara, perempuan tertua di keluarga mereka. Alam bahkan sudah menghela napas mendengar celetukan istrinya itu.

"Manjain gimana, sih, Ma?" tanya Alam santai.

"Ya ... coba aja liat, masa udah besar gak mau pegang kerjaan rumah."

"Memangnya Caya masih kecil? Bisa Caya nyapu atau nyuci piring, Ma?" Abisheka juga merasa terganggu dengan ucapan mamanya.

"Kamu juga, Abi. Mama tau kamu bisa cari uang sendiri, tapi gara-gara Bintang kamu terang-terangan ngelawan Mama. Bintang, kan, bukan siapa–"

"Bintang anak aku dan dia adiknya Abi, anak kamu juga!" potong Alam.

"Kalo dia gak ada, kita gak bakal sesusah ini! Bela-belain sekolah di internasional."

"Ma! Abi mungkin kurang ajar, tapi bukan gara-gara Bintang! Mama sadar gak, sih, kerjaan Papa itu apa dan gimana? Kalo orang tua Bintang gak pergi, Abi sama Caya mungkin gak bisa ngerasain sekolah di sekolah bagus, sekolah internasional atau apalah itu. Kalau mereka masih di sini ... Bintang gak mungkin seburuk itu di mata Mama, kan?"

Ketiganya terdiam. Bahkan papanya yang selalu marah ketika anak-anaknya bicara tidak sopan juga masih diam.

"Yang Mama punya sekarang ini juga karna ngegantiin orang tuanya Bintang, Ma! C'mon! Bintang ada salah apa sama Mama? Bahkan dia diem aja juga kayaknya salah terus."

Am I a Star?Where stories live. Discover now