1. Teman

18 5 21
                                    

"Benarkah? Katanya hidup harus ada teman. Tapi aku sudah sendirian sejak lama. Apa aku juga butuh teman?"
-Bintang Fadelisa-

°•°•°•°

Sekolah baru, semester baru, kelas baru, suasana baru, dan mungkin teman-teman baru. Tapi tidak, tidak ada teman baru karena tidak ada teman lama. Bintang hanya menganggap teman-teman kelasnya yang dulu adalah sekumpulan orang yang belajar di satu ruang yang sama.

Bintang berjalan dengan wajah datarnya. Suasana baru ini tidak membuatnya merasa harus takut pada siapapun. Tidak ada bayangan senior galak atau apapun seperti di cerita-cerita fiksi.

Sampai langkahnya dihentikan oleh satu kaki yang hampir menyandung kakinya. Namun hal-hal seperti itu tidak pernah membuat Bintang celaka. Anggaplah dia memiliki keberuntungan yang sangat baik.

Bintang melirik tiga orang yang berusaha menyandungnya itu satu per satu. Jangan lupakan kesinisan yang terpancar dari lirikan itu. Mood-nya sudah turun mendapat gangguan tanpa alasan seperti ini. Bintang melanjutkan langkahnya, tentu saja dengan menginjak sepatu yang menghalanginya tadi.

"Aaawww!!! Aaaaaa ... sakit! Woi!" Perempuan itu menarik tas Bintang dibantu kedua temannya.

"Loh, bukannya tadi ngasih kakinya buat diinjek?" tanya Bintang polos.

"Gilak lo? Rese banget! Anak baru ya lo?" pekik salah satu dari mereka.

"Bener. Update banget ya kalian. Tapi ... di sini kebiasaan ngomongnya emang kenceng-kenceng gitu ya? Ngalah-ngalahin Orang Utan." Bintang mengamati sekelilingnya.

"Berani banget dia, Din!" seru yang lainnya.

Mereka adalah Dinda, Siska, dan Rahma. Tiga pentolan sekolah yang terkenal karena keributannya. Suara khas melengking yang memang dimiliki ketiga-tiganya. Terlihat seperti kembar tiga. Ditambah model rambut keriting yang juga sama-sama menghiasi kepala mereka.

"Eh, jelek! Denger ya. Gue gak mau ngeliat lo besok masih pake itu tas!" seru Dinda. Mungkin dia adalah ketua dari kelompok bar-bar ini.

"Tas? Masih baru, kenapa harus gue ganti? Keliatan banget ya gue banyak uang?" Bintang meringis merasa tidak enak.

"Liat, nih!" Dinda memperlihatkan tasnya kepada Bintang. "Apa yang kita bertiga pake, gak boleh ada siapapun lagi yang pake. Paham?"

"Gue anak baru, kalian tau itu. Gue buru-buru karna harus ke ruangan guru. Bisa minggir?" Bintang 'tak menggubris ancaman mereka. Tidak terlalu penting bahkan sangat tidak penting.

"Kalo gue—"

"STOOOP!"

Dua orang perempuan berlarian ke arah mereka. Kehadiran mereka membuat Dinda dan teman-temannya memutar mata jengah. Mereka adalah Bulan dan Venus.

"Eh, Dinda and the curutz! Ini tuh tahun ajaran baru. Masih aja, sih, ngerecokin anak orang. Mending lo bertiga pada bubar, deh!"

"Heh, duo alien! Jangan mentang-mentang Kak Joy lebih milih lo daripada Dinda, lo jadi sok keren dan seenaknya ya!" Rahma yang sejak tadi diam mengeluarkan jurus nyolotnya.

"Kenapa, nih?" Ada lagi satu laki-laki menghampiri mereka. Dinda dan teman-temannya merengut kesal.

"Kali ini lo selamat! Awas aja kalo ketemu lagi." Dinda menatap Bintang sinis dan berlalu dari tempat itu.

"Yey! Untung pacar aku yang paling ganteng udah dateng."

Bintang tidak ambil pusing. Senyum dan berterimakasih? Tentu tidak. Bahkan dia harusnya lebih puas jika memelintir tangan tiga orang menyebalkan tadi. Tapi dua orang asing ini menggagalkannya. Bintang berlalu tanpa kata dan tanpa melihat ke belakang.

Am I a Star?Where stories live. Discover now