"Dari kartu keluarga doang kan Pa, bukan dicoret dari daftar ahli waris Papa?" tanyanya dengan menahan senyum.

"Bukankah itu sama aja artinya?" Adrian mulai kesal.

Daren terkekeh. "Baiklah Pa, aku akan datang demi membuat Papa dan Mama senang."

"Tidak Nak, jangan lakukan ini demi kami. Tapi pikirkanlah masa depanmu sendiri, lagipula memangnya kamu tidak iri dengan Erland dan Alvez. Mereka sudah menikah dan memiliki anak, sementara kamu dari hari ke hari masih saja sibuk berganti-ganti wanita."

"Ini namanya takdir, Pa. lagipula aku aja enjoy yang ngejalaninnya, kenapa papa yang pusing?"

Adrian menarik napas frustasi. "Papa harap ini tidak ada hubungannya dengan wanita itu. Karena Papa tidak rela jika kamu menutup hatimu untuk wanita lain hanya karena kamu masih mengharapkan wanita itu kembali."

Daren mendengkus pelan. "Aku tidak menutup pintu hatiku pa, hanya saja sejauh ini memang tidak ada satu pun wanita yang berhasil membuatku jatuh cinta. Dan ini tidak ada hubungannya dengan aku yang masih mengharapkan Calista kembali. Percayalah Pa, aku tidak ingin jatuh dilubang yang sama, karena setelah di pikir-pikir ... jatuh dibanyak lubang itu lebih asik."

"Daren jangan becanda! Papa sedang serius bicara denganmu," hardik Adrian saat melihat sang putra menertawainya.

"Sorry Pa, aku nggak maksud buat papa kesal."

Helaan napas ditarik pelan oleh Adrian. "Ya sudah, papa pulang. Tapi kamu jangan sampai tidak pulang nanti malam ya?"

"Siap."

"Papa serius Daren!"

"Iya Papaaa...."

Adrian mengangguk, tatapannya kemudian jatuh ke tangan Daren yang terluka. "Dan jangan lupa obati lukamu kalau tidak mau mendengar celotehan mamamu yang menghawatirkan luka itu."

Daren tersenyum miring, belum apa-apa saja ia sudah bisa membayangkan wajah cemas mamanya. "Siap."

Begitu sang papa beranjak dari kamar, wajah Daren seketika murung. Dulu ia adalah seorang anak pembangkang dan ia menyesalinya sekarang. Sebab itulah kini apapun yang orang tuanya minta, ia berusaha menurutinya termasuk perjodohan konyolnya dengan Stella kala itu.

Jika diingat-ingat selain orang tua, kakak-kakaknya dan juga sahabat-sahabatnya tidak ada orang lain yang berada disisinya usai kecelakaan yang menimpanya kala itu, bahkan Calista saja meninggalkannya saat ia koma. Andai dulu ia mendengarkan kedua orang tuanya untuk memutuskan hubungannya dengan Calista mungkin ia tidak akan mengalami patah hati sehebat waktu itu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, sudah terlalu banyak penyesalan yang Daren rasakan selama ini. Toh ia tidak mungkin bisa merubah masa lalu, tapi setidaknya kini ia bisa bersikap hati-hati dalam meniti masa depannya agar kelak tidak melakukan kesalahan yang sama seperti dulu.

***

Sekembalinya Calista dari menebus resep obat untuk Zain di apotik, tanpa sengaja ia bertabrakan dengan seseorang.

"Sorry, kau tidak apa-apa?" tanya seseorang yang baru saja berbenturan dengannya saat melihatnya terjauh di lantai lorong rumah sakit.

"Tidak apa-apa, ini bukan salah Anda. Saya tadi yang jalannya terburu-buru," sahut Calista sambil berusaha bangun.

"Oke...." Suara barithon itu menimpali dengan nada malasnya.

Calista mengangguk tanpa sekalipun menatap orang itu. Tak ingin berlama-lama, ia segera menghelakan kakinya kembali.

"Tunggu, kau ... Calista?"

Pertanyaan pria itu membuat langkah kaki Calista terhenti. Ia menoleh dan seketika terkejut saat menyadari orang itu adalah Kiano Alvez Fernandez-sahabat Daren yang Calista kenal.

Calista (My You)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang