⁰⁶

18 3 0
                                    

Hari Minggu tiba, Suasana rumah kediaman Tante Desi terlihat sepi di siang menuju sore harinya. Tante Desi tengah sibuk membaca diruang tamu, Om Hesa dan kedua bocahnya tidur siang dengan lalap, Bu Tri juga sedang beristirahat di kamarnya, Gandhi yang dengan serius bermain gawai. Sedangkan aku.... Aku sendiri tengah terduduk diatas kasur, kebingungan untuk melakukan sesuatu.

Dari atas kasur aku melirik ke arah meja belajar, aku sedikit pikir-pikir, menimbang apa yang harus kulakukan. Aku mengurungkan niatku, namun saat kuperhatikan lagi, benda pipih yang tergeletak diatas meja belajar itu sungguh-sungguh ingin kuambil.

Tapi bukankah tidak sopan untuk bermain ponsel dirumah seseorang? Aku sedang berada di posisi menumpang dirumah ini dan itu artinya aku harus membantu penghuni rumah ini sebagai balas jasa karena telah mengizinkanku menumpang disini.

Bagaimana jika setelah membaca diruang tamu Tante Desi akan menyapu, atau membersihkan halaman belakang, aku harusnya membantu kan? Bukannya bermain ponsel.

Aku berdiam, menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan selanjutnya, diam-diam aku memutar kepala kearah kamar Gandhi. Setelah yakin, kuputuskan untuk bangkit dan mengambil ponselku, headphone yang daya nya sudah terisi penuh juga kuambil. Sampai di atas kasur, aku mencoba menyambungkan kedua perangkat ini.

Connected!

Kedua perangkat sudah tersambung, lalu aku menggeser-geser icon di ponselku, mencoba menemukan satu icon khusus disana.

Klik!

Aku menekan icon itu dan tampilan awalnya terlihat. Sebelum itu aku memakai headphone yang kupegang, lantas aku menggeser keatas lalu kesamping, kekanan dan keatas. Seperti biasa aku kebingungan untuk memilih sesuatu, semuanya terdengar bagus  untukku.

Saat mataku tak sengaja melihat satu judul yang sangat familiar. Karena merasa sudah menemukan pilihan jadi kutekan judul itu. Sepersekian detik masih hening, namun selanjutnya melodi musik mulai terdengar, lagu yang begitu familiar dan menggambarkan satu bagian spesial dariku.

Kemudian aku merebahkan diriku, senyum tipis mengembang memunculkan sedikit kerutan pada wajahku. Kupejamkan mataku, menghayati rangkaian kata yang dinyanyikan bersamaan dengan iringan melodi musik. Kepalaku bergerak naik-turun mengikuti ketukan tempo lagunya.

Beberapa menit setelahnya lagu tersebut telah usai, tergantikan dengan lagu selanjutnya yang terputar secara otomatis. Masih dengan suasana mood yang sama, cerah, bahagia dan bersemangat. Tipikalku sekali, sangat berbeda daripada kebanyakan laki-laki diusiaku.

Mungkin mereka lebih menyukai tipe genre dengan beat yang cepat atau iringan gitar listrik yang memekik atau lirik rapp yang tajam atau mungkin melodi sendu, sayu. Entahlah, jelasnya kesukaan ku adalah musik yang ceria.

Aku tetap berada dalam posisi merebahkan tubuhku sembari mendengarkan musik tiga puluh menit kedepan, dan akhirnya bangkit untuk keluar dari kamar. Namun, sebelum aku keluar, aku merasa ragu-ragu apakah harus berjalan seperti biasa menuju pintu keluar di kamar atau berjalan mengendap-endap agar tak disadari Gandhi yang tengah duduk dimeja belajarnya yang membelakangi pintu keluar.

Pijakan kakiku maju-mundur ragu, masih canggung dan tak tahu haru bersikap bagaimana untuk menghadapi Gandhi dengan sikap dingin juga temperamennya.

Kriet...

Suara decitan kursi terdengar, Gandhi bangun dari duduknya dan memasuki kamar mandi. Lantas saja aku menggunakan kesempatan itu untuk keluar dari kamar. Namun belum usai disana, setelahnya aku kembali kebingungan untuk melakukan apa.

Kulihat jam di dinding ruang tamu menunjukkan pukul empat sore, Tante Desi masih membaca disana, Om Hesa serta dua bocah disini tak terlihat keberadaannya, sedangkan Bi Tri bisa kudengar mengangkat jemuran di halaman belakang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 09 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ASMARA LOKA : 𝐹𝑜𝑟𝑔𝑒𝑡 𝑀𝑒 𝑁𝑜𝑡Where stories live. Discover now