Daren lalu mengusir keduanya dari kamar dengan hanya mengibaskan tangannya. Sepeninggal anak buahnya, Daren menghelakan langkahnya menuju jendela kaca. Seketika pemandangan ibu kota menjelang fajar nampak olehnya. Lampu-lampu masih gemerlap dengan begitu cantiknya layaknya bintang-bintang yang menghiasi kegelapan malam. Disanalah tatapan Daren tertuju tapi tidak dengan fokusnya.

Pikiran Daren tidak berada di tempatnya. Calista berhasil menyita seluruh isi otaknya. Bagaimana bisa sekarang wanita itu rela menjajakan tubuhnya demi mendapatkan uang, padahal dulu untuk menjadi pria pertamanya saja bukan perkara mudah. Mereka bahkan harus menghabiskan waktu dua tahun untuk berpacaran sebelum akhirnya Calista menyerahkan miliknya yang berharga padanya.

Daren tersenyum miris. Bagaimana mungkin dirinya masih saja berpikir ia mengenal wanita itu, sedang tiga tahun menjalin hubungan saja wanita itu masih bisa menipunya. Kenyataannya, ia tidak pernah benar-benar mengenal Calista. Wanita itu tidaklah sama dengan apa yang ia pikirkan selama mengenal wanita itu. Calista bahkan sudah menyelingkuhinya hingga hamil anak dari pria lain.

Tapi dimana pria itu sekarang? Bukankah seharusnya sekarang mereka hidup bersama? Mengapa kini Calista malah menjadi wanita penghibur, apa itu artinya mereka sudah berpisah?

Sebenarnya apapun yang terjadi dengan mereka, Daren tidak peduli. Tapi Daren pernah bersumpah, ia akan melepaskan Calista dengan satu syarat Calista tidak boleh menampakkan diri lagi di hadapannya. Tapi jika pada akhirnya mereka tanpa sengaja dipertemukan kembali, maka itu akan menjadi kesialan bagi Calista karena Daren tidak akan membiarkannya pergi lagi.

***

"Bagaimana Cal?"

Pertanyaan dari Nurul adalah yang pertama kali menyambut kedatangannya di kamar perawatan Zain-putranya yang kini tengah terbaring sakit.

Calista menggeleng pelan, tanpa berani mengangkat pandangan untuk melihat wajah sahabatnya itu.

Nurul menghembuskan napasnya dengan lega. "Syukurlah ... bukankah sudah ku bilang pasti masih ada jalan lain selain dengan menjual diri." Ia lalu mengamati penampilan Calista yang pagi itu datang memakai sweater dengan leher tinggi. "Tunggu dulu, jika kamu tidak jadi pergi menemui pria itu lalu kamu kemana aja semalaman ini?" tanyanya heran.

Calista diam saja, ia hanya fokus memandangi wajah Zain yang pucat. Dengan lembut ia mengusapkan jemarinya di kening putranya itu.

"Cal...." Nurul menyentuh lengan Calista hingga wanita itu berjingkut.

"Sorry ... kamu nanya apa barusan?"

Nurul tersenyum miris, memaklumi Calista yang kurang fokus lantaran banyaknya masalah yang membebani pikirannya.

"Kamu ... kemana aja semalam? Kalau tidak dapat uangnya, kenapa nggak langsung balik lagi aja kesini. Kasihan Zain nanyain kamu terus dari semalam." Pertanyaan Nurul membuat Calista termenung, menatap putranya dengan penuh rasa bersalah.

"Rul...."

"Hmm...."

Calista terdiam lama, tidak yakin apakah ia akan berkata jujur pada sahabatnya itu mengenai yang telah ia lalui semalam.

"Menurutmu, apakah kami mampu melalui semua ini?" tanyanya dengan nada lirih.

"Kenapa kamu bertanya begitu? Tentu saja kalian mampu Cal, kamu dan juga Zain sudah mampu bertahan sejauh ini. Itu artinya kalian adalah orang-orang kuat. Tuhan memberikan ujian ini pada kalian karena Dia tahu kalian akan sanggup melewatinya dengan baik." Nurul menepuk-nepuk lengan Calista.

Calista membalas tatapan Nurul sebelum tersenyum pada sahabatnya itu. "Ya itu juga berkat kamu, aku nggak tahu kalau aku nggak punya kamu di dunia ini."

"Jangan berkata begitu, lagian kayak sama siapa aja. Kamu itu bukan hanya sahabatku tapi juga sudah ku anggap selayaknya saudara. Dan Zain sudah ku anggap sebagai putraku sendiri." Nurul tersenyum tulus.

Kata-kata Nurul membuat Calista terharu. Ya, selama ini memang Nurul banyak berjasa padanya dan juga Zain, terutama sejak ayah Calista meninggal. Dan rumah mereka terpaksa dijual untuk pengobatan sang ayah. Nurul lah yang memberi mereka tempat tinggal. Tidak hanya itu Nurul juga selama ini ikut membantu pengobatan Zain yang sedari lahir mengidap kelainan jantung bawaan.

"Oiya doain ya besok mau ada yang lihat mobilku, semoga aja cocok dan harganya masuk. Nanti kan uangnya bisa buat biaya operasi Zain."

"Loh jangan gitu dong Rul, itu kan mobil peninggalan orang tuamu...."

"Ya terus, memang ada solusi lain aku tanya? Kamu aja nggak ada jalan kan? Bahkan dengan cara haram aja kamu tetep nggak dapet uang."

Calista menunduk. Sebenarnya bukan ia tidak berhasil mendapatkan uang, bisa saja ia kembali ke tempat Madam Zie untuk meminta bagiannya. Tapi Calista tidak ingin melakukannya, terlebih yang dilayaninya adalah Daren. Rasa-rasanya Calista tidak tega mengambil keuntungan dari pria yang dulu pernah disakitinya. Yeah walaupun sebenarnya ia berhak mendapatkan bayarannya mengingat Daren sudah menikmati tubuhnya. Tidak, lebih tepatnya mereka saling menikmati sebab itulah Calista tidak mungkin meminta bayaran untuk sesuatu yang ia senangi.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kemudian masuk seorang pria dengan bersetelan rapih.

"Cal...."

"Faldo...."

"Kabar Zain bagaimana? Maaf akhir-akhir ini aku jarang menemui kalian," ucap Faldo terlihat menyesal saat berada disebelah bangkar Zain.

"Bukankah itu lebih baik," timpal Nurul dengan wajah tak sukanya melihat kedatangan mantan suami Calista tersebut.

"Rul...."

Ucapan Nurul membuat Faldo termenung sejenak. "Maaf jika kedatanganku membuat kalian tak nyaman, aku hanya ingin melihat keadaan Zain."

"Dengar ya Faldo, sebenarnya bukan kami yang tidak nyaman. Tapi Mamamu, beliau yang merasa tak nyaman jika mengetahui kamu mendatangi Calista dan juga Zain."

Faldo tersenyum pahit. "Aku tahu, dan aku kemari juga ingin meminta maaf untuk kejadian waktu itu. Aku sadar Mama sudah sangat keterlaluan dengan menampar Calista didepan umum."

"Tapi yang lebih keterlaluan lagi itu kamu Fal, dari dulu bahkan sekarang kamu nggak pernah ada usahanya untuk belain Calista. Oiya aku lupa, kamu kan takut nanti akan di coret dari daftar pewaris keluarga."

"Rul udah...." Calista memegangi lengan Nurul, sahabatnya itu nampak begitu kesal hingga tak lagi dapat menahan kata-katanya.

"Nggak apa-apa Cal, ini memang salah aku." Faldo tersenyum menenangkan. Mengabaikan Nurul, ia lalu mendekati Zain dan mengusap kepala bocah itu seakan ia menyayanginya. "Seharusnya aku bisa lebih tegas terhadap mama agar mama tidak semena-mena terhadapmu dan Zain."

"Aku mengerti perasaan mamamu, siapapun pasti tidak akan suka melihat anaknya harus kehilangan masa depannya demi mempertanggung jawabkan sesuatu yang bukan merupakan perbuatannya." Calista menjawab lembut dengan penuh pemakluman.

Faldo terdiam cukup lama. Membayangkan dulu ia kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2-nya lantaran harus menjadi mempelai pria untuk Calista yang kala itu tengah mengandung anak dari pria lain. Tapi Faldo sedikit pun tidak menyesali hal itu, ia justru bahagia pernah menjadi suami dari sahabatnya itu meskipun kebersamaan mereka tergolong singkat sebab paksaan orang tua yang menyuruhnya untuk segera menceraikan Calista. Faldo terpaksa melepaskan Calista hanya sampai ia mendapatkan warisan dari orang tuanya, setelah ia berhasil mendapatkannya ia berjanji akan kembali ke sisi Calista dan juga Zain. Ia tidak berbohong, ia memang tulus menyayangi keduanya. Bahkan jika saja Calista tidak menolak bantuannya, Faldo mampu membiayai seluruh pengobatan Zain.

Tbc

Akhirnya Daren-calista pecah telor jg😭😭 astaga sudah berapa lama lapak ini gak tersentuh🤣🤣

Cung yg setia menunggu cerita mereka?👆👆

Yg pengen lanjut jangan lupa komen...

Love

Neayoz🐥🐣

Calista (My You)Where stories live. Discover now