#1: Awal yang Baru

119 13 11
                                    

Semua yang berawal pasti akan berakhir. Mizan sadar berapa lamapun ia berada di Harip tanah kelahirannya, pasti suatu hari akan ada masanya ia harus meninggalkan tempat itu. Apapun alasannya. 

Dan sekaranglah waktunya. Mizan yang tidak pernah tinggal lebih dari satu minggu di kota orang, harus membiasakan diri menetap lebih lama dari waktu yang bisa ia hitung. Membiasakan diri dengan udaranya, lingkungannya, tempat tinggalnya, tempat kerjanya dan tentu saja, masyarakatnya.

Tetapi, hidup di Kota Bandung nyatanya tak seburuk yang Mizan pikirkan sebelumnya. Meski dirinya bukan seorang yang suka keramaian, tetapi ia juga tidak suka sendirian. Bayang - bayang kesepian yang ia khawatirkan, syukurnya tak berhasil ia buktikan.

Boro-boro kesepian, hari ini saja contohnya, belum juga terdengar kokok ayam di kota itu, pintu kosan yang ia tempati sudah di ketuk duluan dengan tidak santainya dari luar.

Oknumnya tak lain tak bukan adalah teman kamar samping kosan yang juga karyawan di kantor yang sama dengannya. Ngomong-ngomong, kosan ini rekomendasi dari Pak Balit, karena dulu waktu bujangan Pak Balit pernah kos disini juga.

Malas-malasan Mizan berjalan menuju pintu kamarnya. Demi Tuhan, bahkan shalawatan di masjid menjelang adzan subuh belum ada yang sampai ke telinganya.

04.00 kalau yang dia lihat di jam hapenya tadi.

"Mizaaaaan." benar kan, Mizan yakin kalau semenit saja lebih lama Mizan membuka pintu, mungkin orang di luar sana sudah minta tolong ibu kos untuk membangunkan dia. Hebohnya melebihi suporter badminton di Istora senayan memang.

Tampilan seorang gadis dengan piyama tidur motif beruang muncul dalam penglihatan Mizan begitu pintu kamarnya terbuka. Sudah tidak mengagetkan karena bukan pertama kalinya gadis itu melakukan hal serupa di depan kamar Mizan.

"Apa?" tanya Mizan datar.

"Mati gue Zan, mati." Masih dengan ekspresi paniknya, gadis itu menarik-narik tangan Mizan. Menyalurkan kegelisahan yang tengah meyerangnya.

"Astagfirullah, kok lu bisa pegang tangan gue?"

Sepersekian detik gadis itu mengerutkan dahinya bingung. "Emang kenapa?" tanyanya.

"Lu kan udah mati." jawab Mizan santai.

"Zaaaaaaaaan....."

"Lah, yang bilang dia mati ya dia sendiri, diiyain dia mati kok malah protes? Salah aku dimana?" Pikir Mizan.

.

.

.

Karena kejadian subuh tadi,  selama di kantor gadis itu mogok bicara dengan Mizan, lumayan lama. Kalau Mizan yang bertanya hanya dijawab 'hmm'.

Jadi ceritanya tadi subuh itu, Shinta, nama gadis yang menggedor-gedor pintu Mizan, mau minta tolong titip izin tidak masuk ke kantor. Tapi Mizan menolak dititipkan. Kenapa?

Soalnya alasan Shinta itu tidak bisa dibenarkan kalau menurut Mizan yang super idealis.

Hari ini Manager mereka pulang dari dinas luar di Amerika. Luar biasa, kantor pusat mainnya langsung ke luar negeri.

Masalah yang terjadi adalah Shinta punya tugas yang belum dia selesaikan. Dan tugas itu adalah tugas langsung dari bapak Manager yang terhormat. Matilah dia kalau sampai Pak Manager menanyakan tugas tersebut, mau dia jawab apa. Padahal tugas itu diberikan sudah dari sebulan yang lalu, sebelum sang manager berangkat.

"Shin, gitu aja ngambek ah, gak yes banget." Bujuk Mizan. Tapi yang dibujuk masih mode merajuk.

Sebulan sudah Mizan bergabung dengan tim pemasaran di kantor pusat. Lambat laun dia bisa mengakrabkan diri dengan orang-orang disana, terutama divisinya.

Pilih-Pilih Tempat CurhatWhere stories live. Discover now