prólog

351 153 50
                                    

Sebait ingatan berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Melintas dengan cepat, entah abu-abu atau sepia, dari masa lampau hingga sekarang.

Ketika aku terbangun dari rasa sakit yang menyiksa, aku tidak lagi berada di kamar, melainkan di ruang asing gelap tak berujung. Sebuah lorong kecil dan sempit. Hitam. Kelam. Sepertinya surga telah menutup jalan agar aku memilih berpaling ke neraka. Aku tak bisa melihat diriku yang semestinya---menjulurkan kaki berjalan. Bahkan tidak merasakan apapun kecuali kulitku yang seolah-olah ditarik, seperti seseorang tengah menjadikanku permen karet. Aku merasa seperti tenggelam dalam bawah tanah.

Ketika aku mulai mencoba berjalan dengan sempoyongan sambil berpegangan di sisi kiri dan kanan dinding, ribuan lubang menjijikan bermunculan. Jantungku seakan melompat dan aku melepaskan tanganku dari sana. Dinding itu berubah menjadi selembek daging berwarna kemerahan yang mengeluarkan suara-suara aneh ketika terakhir kali aku memeganginya. Mereka menganga seperti menginginkan aku untuk dimakan.

Aku tak punya waktu untuk berfirasat baik dan lupa caranya bernapas. Bahkan aku baru menyadari aku tidak bisa berkedip. Mataku terasa perih dan mengeluarkan cairan panas bila aku memejamkannya, cairan yang membuat kulit wajahku melepuh dan berdarah-darah. Maka akhirnya aku berusaha tak berkedip. Seharusnya aku menjerit-jerit dan berteriak, tapi mulutku seperti tak berada pada tempatnya. Mungkinkan aku sudah tak punya mulut? mungkin 'kah aku ini monster?

Perjalanan dari lorong ke lorong terasa seperti mengelilingi sebuah kota besar dengan berjalan kaki. Berulang-ulang di tempat yang kelihatan sama. Tanpa menemukan secercah harapan untuk kembali pulang.

Aku seolah dilahirkan kembali. Dan dibuang ke jurang hampa tanpa boleh naik. Jantungku berdetak tak berirama. Suaranya terdengar seperti berada tepat di dalam kepalaku. Sangat nyaring, sangat mengganggu. Aku bisa mendengar mereka juga, lubang-lubang itu, memintaku untuk terus berjalan.

Aku meraba dalam keadaan buta, dan perasaan takut luar biasa. Kakiku mulai menginjak sesuatu yang lengket setinggi diatas mata kaki. Menjijikan. Lendir-lendir ini membuatku kesulitan berjalan. Bau-bau asing menusuk hidungku. Segala sesuatu seperti makanan basi, sampah basah, dan besi berkarat. Atau darah? Rasanya aku ingin muntah.

Aku terus berjalan tanpa arah sampai sebuah cahaya tiba-tiba menyoroti mataku. Reflek menyipit dan berkedip-kedip, luar biasa kesakitan.

Tes ...

Tes ...

Aku mendapatkan dorongan untuk lari masuk ke dalam cahaya dan semuanya mendadak berubah. Aku tak lagi di ruangan hitam itu, tetapi di dasar laut yang sunyi dan dingin. Mengayunkan tangan dan kaki berusaha menyelamatkan diri, tapi tidak berhasil. Aku kehabisan akal setelah mencoba naik ke permukaan. Mengambang menunggu petugas datang sepertinya bukan ide cemerlang. Bahkan laut ini sepertinya tidak dibuat agar para penyelam atau siapa saja yang tenggelam selamat. Tubuhku semakin turun ke dasar terdalam. Menggigil kedinginan, keram, dan semakin kesulitan bernapas.

Otak, jantung, paru-paru, dan segala sistem peredaran darah mungkin akan segera berhenti sebelum aku ditarik kembali oleh sesuatu, atau sosok tak kasat mata. Barangkali Malaikat?

Kemudian aku terbangun di panti asuhan dengan keringat di seluruh kepala dan leher. Melongo sambil bernapas dengan cepat seolah-olah ribuan kesempatan itu telah diambil dariku. Kesempatan bernapas lagi setelah kematian mengerikan terasa nyata beberapa detik lalu.

Jeritan terakhir jiwa-jiwa tak berdosa betul-betul menghantuiku kesekian kalinya. Merayap di tubuhku yang beku. Membuatku kembali tidak waras. Aku berlari sambil menjerit-jerit, menghadapi tumpukan mayat di sana-sini.

Rasa sakit itu muncul lagi di pergelangan tanganku. Menggerogoti urat nadiku. Seperti cacing berenang-renang di air yang keruh, mengeluarkan cairan sepekat tinta dan bau amis yang mengganggu indera penciuman. Pembuluhnya pecah. Aku menjerit-jerit ketakutan. Kesakitan. Histeris.

Di tempat ini segalanya dipertaruhkan. Kepala anak-anak terpenggal dari leher mereka sehingga darah mengalir seperti sungai. Pemandangan masa depan yang surut dan gelap.

Aku mendengar suara berisik di atap, yang merujuk pada sebuah bayangan hitam sebesar rumah kami. Bayangan itu diam seperti awan mendung di malam hari. Tapi kemudian berubah menjadi makhluk yang lebih mengerikan. Semacam lebah dan sejumlah ngengat, yang menginginkan manusia.

Gadis berambut panjang pirang berteriak untuk diselamatkan. Aku tercengang dan menatapnya seolah mengatakan aku bahkan tak bisa menyelamatkan diriku, sialan. Aku ingin kabur, melarikan diri dari tempat keji ini.

Tempat terindah seumur hidupku. []











𝐓𝐡𝐞 𝐀𝐦ó𝐫𝐢𝐮𝐦Where stories live. Discover now