EPILOG

792 112 14
                                    

Atsumu merenung, tepat disisi Osamu yang tengah duduk di sebuah kursi roda. Keduanya masih tak berbicara, walaupun sudah berdiam diri di taman belakang rumah selama hampir tiga puluh menit. Baik Atsumu maupun Osamu enggan, atau lebih tepatnya bingung harus bagaimana memulai pembicaraan.

Entah sudah berlalu berapa hari, tapi Osamu masih sadar akan perilaku bodohnya dihari itu- yang membuat salah satu kakinya cidera dan terancam akan lumpuh total. Anehnya, Osamu tidak dapat merasakan penyesalan usai melakukan tindakan tersebut. Ada keajaiban yang ia rasakan, ketika mengetahui bahwa kondisi fisik Atsumu baik-baik saja.

Osamu juga paham, betapa nekat cara yang ia gunakan untuk membawa Atsumu pulang. Melihat bundanya yang menangis penuh akan kefrustasian membuat Osamu tidak dapat menahan diri, dan menghalalkan segala cara demi membawa Atsumu kembali.

Sekarang ia berhasil, dan Atsumu sudah kembali bersamanya.

“Atsumu, Osamu. Ayo kita makan malam.” Panggil bunda dari arah dapur.

Lamunan Atsumu membuyar, langit jingga yang sedaritadi ia tatap sekarang mulai memudar, berganti dengan warna biru yang amat gelap. Ia menyahuti panggilan bunda, kemudian menarik kursi roda yang diduduki oleh Osamu untuk masuk kedalam rumah.

Selama makan malam berlangsung, Atsumu menyantap lauk yang telah dimasak oleh bunda- dengan rasa yang sudah tidak asing lagi bagi indra pengecapnya. Tapi percayalah, ada banyak hal yang berbeda sekarang. Biasanya, bunda akan menyendoki lauk dan meletakkannya diatas piring milik Atsumu. Tapi sekarang, bunda tak lagi melakukannya. Ia sibuk menyuapi Osamu dengan raut wajahnya yang dipaksa untuk tersenyum.

“apa kamu masih mau pergi ninggalin Bunda?” pertanyaan itu mengejutkan Atsumu yang tengah meletakkan piring kotor kedalam washtafel. Ia menatap bunda sejenak, sebelum pandangannya berganti kesegala arah.

Detik kemudian, Atsumu menggeleng ragu.

“bunda… bunda kok bohongin Atsumu?” daripada menjawabnya, Atsumu memilih untuk balik bertanya.

Kedua mata bunda menyipit, lalu tersenyum miring, “kadang, lebih baik nggak tau daripada tau dan akhirnya sakit hati.”

Sudah tahu kan, kalau Atsumu adalah tipikal orang yang mudah terpancing emosinya- dan ia tidak puas atas jawaban bundanya itu.

“sakit bun… bunda gatau rasa sakitnya gimana…”  jemari Atsumu mencengkram kaos yang ia kenakan, tepat didepan dadanya. Ia tengah memvisualisasikan kalau ada rasa sesak yang timbul disana.

Bunda melangkah, tepat dihadapan Atsumu. Kedua tangannya menggapai wajah Atsumu, lalu menatapnya begitu dalam. Dengan matanya yang berkaca, beliau menggeleng kecil.

“diselingkuhi, lalu anakku ditukar dan baru kuketahui ketika delapan belas tahun berlalu. Menurut Atsumu, apakah bunda nggak merasakan sakit yang sama?” bibir bunda bergetar ketika berucap, bersamaan dengan air mata yang mulai turun- membasahi kedua pipinya. “...kalau boleh memilih, bunda lebih baik tidak tau sama sekali, daripada harus menahan amarah seperti ini.” kata bunda lagi.

Atsumu tertegun, dan baru menyadari bahwa ia mengeluh dengan orang yang salah. Sebab dibandingkan dirinya, penderitaan yang dirasakan oleh bunda jauhlah lebih besar. seharusnya, bunda-lah yang merasa marah. Ia berkali-kali dibohongi sepanjang hidupnya, meskipun ia sudah menyayangi siapapn dengan sepenuh hati.

“tapi Atsumu bukan anak bunda… buat apa Atsumu disini?” Tanya Atsumu, lalu menggenggam kedua tangan bundanya yang masih bertengger pada kedua pipi milik Atsumu.

“bunda ngurus lo dari bayi, dan lo pikir semudah itu bagi dia buat ngilangin rasa sayangnya?” Sambar Osamu dari sebrang meja makan, yang ternyata ia ikut menyimak pembicaraan itu.

Atsumu tak berbicara, pandangannya berbelok kembali- mendapati bundanya yang setuju akan ucapan Osamu. Bunda membentangkan kedua tangannya, kemudian berkata… “sini, peluk bunda…”
Senyum lebar tak dapat Atsumu tahan, ia menunduk sejenak kemudian memejamkan matanya yang sudah berkaca-kaca. Selanjutnya, ia masuk kedalam dekapan bundanya yang penuh akan kasih sayang.

*****

Pria bersurai abu itu telah selesai mencuci seluruh peralatan masak, lalu meletakkan kembali ke tempat penyimpanan. Peluh di dahinya semakin bertambah usai seharian penuh melayani pelanggan yang terus berdatangan tanpa henti.

Osamu tertegun. Ia mendapati Atsumu yang sudah berdiri di dekat pintu masuk dapur, lengkap dengan pakaiannya yang dipenuhi oleh noda cat.

“karyawan lo udah pada balik semua?” Tanya Atsumu yang buru-buru membantu Osamu menyusun piring kedalam rak.
Osamu mengangguk.

“lo sendiri gimana? Rame pesenan hari ini? baju lo sampe kucel gitu.” Ejek Osamu kemdudian.

Atsumu balik mencibir, kemudian berkata bahwa noda-noda cat itu adalah tanda keseriusannya melukis.

Sedikit cerita, Osamu mundur dari cita-citanya sebagai dokter. Ia hanya berpikir, bahwa orang yang ingin diurusnya, sang Ibu sudah meninggal sejak lama. Untuk itu, Osamu beralih profesi- dan memutuskan untuk mendirikan restoran usai lulus dari sekolah.

Tempatnya berpijak disaat itu adalah restoran cabang ketiga miliknya, yang baru saja dibuka. Respon dan antusias orang-orang membuat lelahnya terbayar sepadan.

Sementara Atsumu, dirinya sudah lelah belajar dan memutuskan untuk tidak lanjut ke jenjang perkuliahan. Berbeda dengan Osamu, Atsumu memiliki bakat di bidang seni- khususnya melukis. Untuk itulah, ia mendirikan galeri khusus pembuatan sepatu dan jaket custom. Dimana gambar atau illustrasinya akan dilukis langsung olehnya dan para pekerja disana.

“Sam… sam… udah selesai belum?” Tanya Atsumu.

Osamu menatapnya sejenak. “udah. Kenapa?” Osamu bertanya balik.

Sebelumnya, Atsumu terkekeh kecil- kemudian segera menarik tangan Osamu untuk keluar dari area dapur. Disana, Osamu terkejut- melihat Bunda memegang sebuah kue ulang tahun dengan lilin yang menunjukkan angka 23 tahun.

“Bun… kita udah gede tau.” Ledek Osamu, melihat Atsumu kegirangan sendiri. Padahal, yang ingin dikejutkan kan Osamu.

“heh, hargain dikit lah effort bunda.” Komentar Atsumu. “… yaudah, gue aja yang tiup lilin kalo elo gamau.” Atsumu langsung mendekatkan wajahnya pada kue yang dipegang oleh bunda.

“dih, apa-apaan lo. Minggir-minggir!” Sambar Osamu tak mau kalah.

Wajah bunda memancarkan kebahagiaan yang begitu besar. ia senang karena bisa mengurus kedua anaknya seorang diri, sampai Atsumu dan Osamu bisa bertanggung jawab terhadap hidupnya sendiri. Rasa sakit yang diabaikan oleh bunda terbayar dengan melihat kedua putranya menjadi orang yang berhasil.

“bunda berharap, Atsumu dan juga Osamu akur, dan bahagia selalu.” Kata bunda.

“Aamiin…” Ucap Atsumu dan Osamu secara bersamaan.

Fyuuhh~

Lilin tersebut akhirnya padam, dengan harapan bahwa kesedihan didalam kehidupan mereka juga ikut padam. Kemudian berganti dengan kebahagiaan yang berlimpah.

END-

****
Udah ya, lunas... Happy end dan gaada yang mati. Siapa kemaren yang gapercaya kalo nih fanfic happy end? Bergelut kita.
Wkwkwk, bercanda.

You and Me - Miya Twins [ END ] ✓Where stories live. Discover now