Udara pun cerah. Tidak hujan, jadi sepertinya tak ada alasan untuk berdiam di dalam rumah.

Melihat kampung yang sepi, Jodi kembali bergidik ngeri. Namun, rasa takutnya itu terobati saat melihat beberapa orang sedang duduk di Pos Ronda.

Tin-tin!

Jodi membunyikan klakson dan mengangguk pelan, tapi ia heran, bapak-bapak itu seperti tak mendengar. Tatapannya kosong dan tak ada suara.

Pemuda manis itu tetap melajukan kendaraannya. Jarak sekitar lima puluh meter, Jodi menoleh dan ...

Mereka hilang!

Jodi menggeleng dan kembali tubuhnya bergidik.

"Jangan pikirin macam-macam, Jodi!" ia berbicara pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba ...

Di bawah pohon bambu yang tak jauh dari motornya, seseorang melambai. Ada rasa ragu di hati Jodi, tapi jiwa manusianya berbicara. Ia kasihan melihat seseorang itu yang nampaknya sendirian di tempat sepi. Pasti ia butuh tumpangan.

Ckitt!

Jodi menghentikan motornya tepat di samping seseorang yang ternyata Bapak-bapak paruh baya.

"Bapak sendirian?" tanyanya. Bapak itu mengangguk pelan.

"Nak, tolong antarkan Bapak pulang. Rumah Bapak di kampung sebelah. Kaki Bapak sakit, susah berjalan," Bapak yang punya kulit legam itu menatap penuh harap.

Jodi terdiam sejenak dan memperhatikan tubuh Bapak yang kondisinya cukup memprihatinkan. Kurus, dan lusuh.

Pemuda baik hati itu mengangguk pelan. "Mari, Pak. Silahkan naik. Saya akan mengantar Bapak sampai ke rumah,"

Bapak itu mengangguk. Ia lalu naik. Awalnya Jodi tak menaruh keanehan, tapi, semakin jauh ia mengendarai motornya, semakin terasa berat beban di belakangnya.

Rasanya tak mungkin Si Bapak punya berat tubuh yang setara dengan dua sak semen, mengingat Bapak itu punya tubuh cungkring seperti tengkorak hidup.

"Pa-Pak ... apa masih jauh?" tanya Jodi.

"Sebentar lagi, tapi Bapak mau memberi pesan untuk Bapakmu,"

Jodi termangu. Sebuah pesan?untuk Bapak?

"Bapak kenal dengan orang tua saya?" tanya Jodi heran.

"Saya tidak kenal, tapi Bapakmu sudah buat keluarga kehilangan saya. Bapak kamu mau lepas begitu saja tanpa mempertanggung jawabkan perbuatannya," suara Bapak itu berubah serak dan parau.

"Kalau bapakmu dan warga lain ga mau tanggung jawab, saya akan terus balas dendam sampai arwah saya tenang!"

"A-arwah?"

Tubuh Jodi bergetar. Perlahan matanya mengarah pada spion dan saat itu juga kelopak matanya melebar.

Seraut wajah dengan ikat kepala putih itu menyeringai padanya. Salah satu matanya bolong dan satunya lagi, bola matanya menggantung dengan darah dan belatung yang berkerumun, berjatuhan diantara wajahnya yang menghitam dan sebagian keroak, mempertontonkan tengkorak di bagian pipi dan hidung.

Bayangkan! sosok itu tertawa terbahak dengan suara parau dan melengking dengan kain kafan lusuh yang penuh tanah dan bau anyir darah bercampur bangkai yang sangat menyengat.

Pandangan Jodi seketika memburam. Rasa takut hingga ke ubun-ubun membuatnya hilang keseimbangan, motornya oleng, dan ....

Bruakkk!

Gussrakkk!

Matanya berkunang-kunang. Dunia rasanya berputar. Sakit di bagian kepala dan beberapa bagian tubuhnya membuatnya sulit bergerak. Terakhir yang ia lihat adalah benda  seperti selendang yang melesat terbang entah ke mana dengan tawa yang mengerikan, sebelum akhirnya kegelapan menyelimutinya.

***

Bruakkk!

Gusrakkkk!

"Ibuk! bunyi apa itu, Buk!"

Indah yang saat itu sedang menemani adiknya Danang, belajar, seketika bangkit dan berlari menuju ibunya yang saat itu baru saja selesai menyusui Mulyani, Si Bungsu.

"Ya, Ibu juga dengar, Nak. Sepertinya ada benda yang menabrak dan terjatuh,"

"Bu, kita lihat, yuk, Buk. Sepertinya ga jauh dari rumah kita," ajak Indah.

"Mulyani siapa yang jagain, In?" Ibu bingung.

"Danang aja, Buk," tiba-tiba Danang hadir di antara mereka.

"Kamu ga takut, Nang?"

"Danang dah gede, Bu. Ibu pergi sama Mbak, mana tau ada yang butuh pertolongan di luar," ucap Danang yakin.

Indah dan Ibu mengangguk. Ibu meraih senter di dalam laci lemari dan menggandeng Indah keluar rumah.

Mereka berjalan beriringan, dan menyusuri sekitar dengan senter.

"Buk, kok sepi? mana orang-orang?"

Ibu mendengus. "Orang-orang termakan isu pocong,"

"Pocong?"

"Indah! lihat itu!"

***

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now