Part 8. Berbakti

3 2 0
                                        


Ziyan memperhatikan langkah Hanna yang meninggalkannya seorang diri di ruang tengah, dia tidak membalas perkataan lagi. Dalam menatap kepergian Hanna, Ziyan seperti menikmati sesuatu. Ia tersungging sembari bersedekap mengingat wajah menor gadis tersebut. Ada rasa geli, juga ada rasa senang melihat kekonyolan Hanna demi menggagalkan rencana para orang tua. Tiba-tiba Ziyan memiliki ide baru.

"Bagaimana, Ziyan?" tanya Rini. Wanita yang masih tampak cantik dengan makeup itu menghampiri anaknya. Disusul papanya dan kedua orang tua Hanna.

"Baik." Ziyan hanya menjawab seperti itu. Sebenarnya dia ingin memberitahu lebih banyak, hanya saja Ziyan takut menyinggung orang lain.

"Jika keduanya sudah setuju, sebaiknya kita percepat pernikahan mereka. Tidak baik menunda-nunda perkara besar ini." Pak Hasan ikut menimpali.

"Bagaimana dengan Hanna, Mar?" tanya Rini pada umah Hanna.

"Soal Hanna, kamu nggak perlu risau. Meski dia tampak kasar dan menolak, sebenarnya dia setuju. Wong kakak-kakaknya juga begitu dulu.
Awalnya nolak nggak mau taarufan, eh setelah taarufan, mereka langsung setuju." Martini bercerita tentang dua gadianya yang sudah menikah.

"Alhamdulillah, kalau begitu dari pihak kami akan mengatur walimahan secepatnya. Kamu setuju kan, Ziyan?" tanya sang ayah lagi.

"Ziyan ikut saja, Pa. Jika itu yang terbaik, Ziyan Terima."

"Alhamdulillah, sepertinya kedua belah pihak sudah setuju."

Semua berucap syukur senang.
Akhirnya dua keluarga sepakat untuk membicarakan acara selanjutnya besok siang. Ziyan menyerahkan semua urusan pada orang tuanya. Melihat cara bicara Hanna saat menolak perjodohan tadi, membuat Ziyan semakin penasaran. Menjadikan dirinya tertantang untuk melunakkan Hanna. Mungkin ada baiknya perjodohan ini dilanjutkan walau sang gadis tidak mau. Ziyan Mikael kembali tersenyum mengingat dandanan Hanna.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri gitu?"

"Kamu beneran suka sama gadis tadi?" tanya ulang Rini, tidak dapat respon, beliau menyenggol pipi Ziyan. Sementara Mikael fokus menyetir.

"Ha? Nggak." Ziyan tersadar.

"Nggak bagaimana? Kamu nggak suka?" Rini bertanya lagi.

"Bukan." Ziyan cepat meralat, "bukan nggak suka, Ziyan cuma inget kejadian beberapa hari ini di sekolah."

"Mama jodohin kamu supaya kamu itu bisa punya prinsip dan tujuan hidup. Jangan kayak papa kamu, yang tidak pernah memikirkan perasaan orang lain."

"Lho, kok papa yang disalahin? Bukannya mama yang pergi meninggalkan rumah. Padahal papa cuma mau nambah istri ajah."

"Perempuan mana yang mau dipoligami, pa? Apalagi Eva cuma mau menikmati hasil jerih payahku sama papa. Enak banget dia mau panen doang tanpa mau bersusah payah menuai."

"Dia tidak seburuk yang kamu sangka. Coba kamu pikir, Ziyan itu berhutang banyak pada Eva. Kalau bukan Nura yang selalu merawat Ziyan, siapa lagi. Kamu bukannya nggak tahu kan kebiasaan buruk anakmu. Malas makan."

"Aarrggh ! Jangan berantem! Ziyan nggak mau dijodohin kalau kalian berantem, ini Ziyan udah mau dijodohin kalian masih juga berantem. Kapan sih kalian mau akur?" Ziyan kesal.

"Nggak akan pernah, karena papa kamu udah nyakitin mama berkali-kali."

"Mama kamu duluan yang selingkuh."

"Kalau kalian terus berantem begini, sebaiknya batalkan saja perjodohannya. Ziyan malu melihat kalian seperti anak kecil."

"Sok dewasa kamu," ungkap Mikael dan Rini serentak.

Tak Setinggi LangitWhere stories live. Discover now