"Bukan itu maksud gue," tepis Hanna.
"Jadi apa?" Ziyan mengambil air dari kran wastafel lalu memercikkan ke wajah Hanna. "Cuci muka dulu gih!"
"Ziyan! Jahat banget sih." Hanna mengelak diiringi senyum Ziyan.
"Satu lagi, jangan manggil gue dengan nyebut nama doang. Nggak sopan tahu'. Gue kan suami elo, harus manggil gue dengan embel mas, atau kakak, atau ayang, atau darling kek."
"Bawel, cowok kok bawel. Iya ih, sana pergi solat! Daripada ngomel mulu pagi-pagi."
"Kan udah pulang dari masjid. Biar gue brengsek tapi gue nggak pernah lupa Tuhan yang ciptain elo," canda Ziyan. Laki-laki itu membuka sarung dan songkok, hingga menyisakan celana boxer dan kaos oblong di tubuhnya.
Hanna mulai memberesi kompor yang sudah seminggu tak dibersihkan. Ziyan pula memasukkan pakaian kotor dalam mesin cuci. Sekilas pandang keduanya tampak kompak bekerja sama. Namun pada kenyataannya, Hanna lebih banyak diomelin gegara salah mengatur yang sudah diberesi.
"Eh, jangan gantung di situ, By." Ziyan menahan wajan yang mau digantung atas singki. "Ini gantung di sini," ucap Ziyan sambil menunjukkan tempat husus kuali hitam.
Dari mulai menata piring di rak-rak, kemudian menggunakan kain pel, sampai mengatur sendok dan juga gelas. Hanna seperti anak SD yang baru diajari ibunya mengemasi dapur.
Menjelang jam setengah tujuh, pekerjaan mereka selesai. Ziyan langsung menyuruh Hanna mandi supaya tubuhnya segar. Namun, Hanna menolak, karena sangat dingin. Lagi-lagi Ziyan ingin memandikannya, akhirnya Hanna teroaksa lagi mandi sendiri. Daripada dimandikan, nanti entah apa pula yang terjadi, Hanna gegas ke kamar mandi.
"Nah, begitu kan bagus. Pakai jilbabnya! Temenin gue ke warung pak Supri."
"Aduh, Zi .... "
"Eits, Mas Ziyan, kak Ziyan, nggak bisa ya?" ralat Ziyan sebelum gadis itu berhasil menyelesaikan kalimatnya.
"Harus banget, Ya?"
"Iya. Belajar sopan santun sama yang lebih tua."
"Ooh, jadi suami itu harus dihormati, terus istri diapain?"
"Disayangilah, mau diapain lagi," sahut Ziyan sembari mengucak rambut Hanna sambil lalu. "Udah, cepet pakai jilbabnya, gue tunggu di luar."
"Nyebelin."
Tanpa menunggu lama Hanna segera memasang jilbab lalu memasang jaket tebal. Udara di krincing saat pagi-pagi sangat dingin. Meski tidak hujan berbulan-bulan cuaca tetap dingin.
Apalagi ketika di Dieng kena salju, Nah gitu dinginnya bisa mencapai 20%cc.
Ziyan dan Hanna berjalan kaki menyusuri jalanan pafing blok yang sudah ditumbuhi rerumputan beberapa. Keduanya harus menjaga keseimbangan karena jalan dari rumahnya menuju kedai itu menurun.
"Dingin, ya?"
"Banget," jawab Hanna sembari mengeratkan jaketnya agar tetap hangat.
"Sini, ,gue hangetin." Ziyan merangkul bahu Hanna.
"Ih, jangan peluk-peluk lah, malu dilihatin orang." Hanna mengelak.
"Nggak ada orang kok, ini kan masih pagi. Mereka semua pada tidur." Ziyan mengeratkan balik.
"Terserah elo deh," balas Hanna malas.
Karena hari minggu dan masih pukul setengah tujuh, warung masih padat. Warung pak Supri selalu padat di jam segitu. Warga krincing lebih suka belanja pagi-pagi. Apalagi banyak santri maqomi yang tinggal di dekat sana. Warung pak Supri penuh dengan perempuan bercadar yang sedang memilih sayuran dan ikan.
"Bojone, Mas?" tanya istri Pak Supri.
"Nggih, Mbok."
"Ora tau metu, Yo. Baru katon saprene."
YOU ARE READING
Tak Setinggi Langit
Teen FictionHanna punya cita-cita lanjut kuliah setelah tamat SMA, tapi dia harus menerima perjodohan dengan laki-laki yang ternyata musuh bebuyutannya.
