Hanna Al-Azmi, sebuah nama yang indah, sesuai dengan bentuk wajahnya yang putih, bulat, gembil, mata jely, bibir kecil mengerucut, hidung bangir, serta rambut tebal sepinggang. Berbeda dengan kakak-kakaknya yang lebih kepada cantik, Hanna tidak seberapa cantik. Bahkan saat pertama kali orang melihatnya, akan menvonis jelek.
Setelah beberapa kali pandang, apalagi semakin banyak kali pandang, wajahnya jadi manis dan tidak bosan dipandang. Bahkan semakin sering melihatnya, akan bertambah penasaran, mengapa wajah Hanna tidak jelek lagi.
Hanna mulai betah sekolah di SMA KENANGA, di sana tidak ada yang membulynya seperti di sekolah lamalama, bukan tidak ada mungkin belum ada. Hanna jadi sosok tangguh saat berhadapan dengan masalah.
Hanna banyak belajar tentang kehidupan mandiri, agar kelak di negeri orang dia bisa bertahan. Hanna sangat ingin lanjut kuliah di luar negeri. Dia tahu orang tuanya mampu membiayai dia ke sana, sayangnya ibu Hanna tidak setuju. Beliau akan setuju bila Hanna sudah menikah dengan seseorang. Itu juga kalau sang suami nanti mengizinkan.
"Hanna, nanti ada tamu besar datang, ini umah siapkan baju. Dandan yang rapi, ya." Martini beranjak setelah meletakkan setumpuk baju baru atas sopa. Hanna hanya menjawab dengan melengos.
"Masih beruntung jadi kak Ikrimah dan Kak Zinab, setidaknya mereka menikah dengan orang yang mereka sukai. Mereka dikasih kebebasan memilih saat dijodohkan. Lha gue, nggak ada angin nggak ada ribut, langsung disuruh nyambut tamu besar, memang ummah pilih kasih," sungut Hanna. Dengan malas dia mengambil tumpukan baju tersebut lalu melangkah ke kamar.
Rumah Hanna tidak terlalu besar, hanya cukup ruangan dan lengkap fasilitasnya. Kamar Hanna juga tidak terlalu besar, hanya berukuran 6×4. Hanna menggerutu sembari menghempaskan tubuhnya atas kasur. Membiarkan sepasang mata jelynya melihat pelapon kamar yang dihias indah oleh sang abah berupa bunga tulyp.
"Umah memang pilih kasih, tidak pernah pengertian padaku, tidak pernah memikirkan kebahagiaanku. Bahkan aku tidak diberi kebebasan dalam memilih impianku. Aarrggh!" Hanna memukul kasur kesal.
Langit sore berganti dengan langit malam, dua waktu sholat sudah terlewati beberapa saat tadi. Mau tidak mau Hanna harus mematuhi ummahnya, karena dia juga takut sama abahnya. Kebetulan abah barusan pulang setelah magrib tadi. Ternyata umah Martini dan abah Hasan Al-Azmi sudah merencanakan sesuatu.
Tidak menunggu lama, tamu agung pun datang. Mikael dan Rini bersalaman dengan kedua orang tua Hanna bak teman lama yang baru bertemu. Keduanya langsung akrab sambil bercerita kisah lalu. Seketika ruang tengah jadi rame dengan kehadiran mereka. Ditambah lagi mereka membawa rombongan pembawa hantaran sebanyak 20 orang. Berpakaian seragam hijau dipadu merah muda.
"MasyaAllah, jadi ini anak kamu?" Martini begitu senang setelah diperkenalkan pada putra mereka.
"Iya, Anak kami satu-satunya sebelum perpisahan terjadi," jawab Rini. Ia melirik ke arah Mikael berharap pria yang pernah menjadi suaminya itu merespon.
"Semua itu sudah terjadi tanpa sengaja, semoga Ziyan tidak seperti Mikael muda." Mikael membela diri.
"Setiap sesuatu itu pasti ada hikmahnya," Sahut Hasan pula. Pria yang berperawakan gagah dengan cambang yang memenuhi pipi itu ikut tersenyum.
"Aku masih ingat, anakmu ini kemarin pernah nolongin aku waktu di jalan pulang dari pasar. Dia baik kok, iya kan?" cerita Martini diakhiri bertanya pada si empunya.
"Aih, tante. Itu cuma kebetulan saja Ziyan lewat sana."
Ziyan mengingat pertemuan tak sengaja dengan perempuan yang jatuh depan pasar denganbawaan sangat banyak. Hari itu Ziyan menolong bantuin si ibu berdiri, dan membawakan barang-barang ke mobil.
Cerita demi cerita mengalir begitu saja, hingga pada acara inti. Martini memanggil anak gadisnya. Hanna Al-Azmi.
Hanna sudah rapi dengan stelan gamis coklat susu dengan kombinasi kotak-kotak dipadu jilbab segitiga yang dililit ke belakang. Sengaja pula ia mendandani wajahnya dengan make up tebal plus menor. Jika menolak langsung, abahnya pasti akan marah besar. Abah Hanna selalu menuruti kemauan ibu, tidak mungkin juga dia bertindak seperti dalam sinetron agar bisa lari dari perjodohan. Bukan Hanna namanya jika lari dari masalah. Seorang Hanna harus bisa menghadapi masalah dan menyelesaikannya. Anggap saja perjodohan ini sebuah tantangan dalam ujian.
"Oh, masyaAllah anakmu cantik sekali," puji Rini begitu Hanna menyalami tangannya.
Cantik apa begini, picek matanya nggak bisa lihat. Batin Hanna.
"Yah, harus cantiklah, masa ibunya cantik anaknya nggak?" canda Abah sembari menyenggol Martini.
"Idih, abah. Nggak usah pamer deh, Tuan Mikael juga ganteng, makanya anaknya jauh lebih gagah dari ayahnya."
"Ooh, jelas itu. Kalau dia nggak ganteng, mana mungkin Si Eva jadi pelakor, ya nggak, Pa?" sindir Rini sembari menyenggol lengan Mikael. Si empunya hanya tersenyum miris, beliau merasa sedang dipermalukan oleh mantan istri.
Hanna sendiri tidak paham dengan obrolan mereka. Dia hanya diam di tempat sembari meremas sisi gamis. Antara bingung dan juga takut melihat calon. Bahkan Ziyan juga hanya sibuk bermain ponsel di kursi sisi kanan. Hingga akhirnya dua pasang orang tua itu membiarkan Hanna dan Ziyan saling taaruf di ruangan. Mereka pindah ruang tamu bergabung sama rombongan pembawa hantaran, makan bersama.
"Astaghfirullah! Ini beneran orang apa lampu lalu lintas?" ehek Ziyan.
Mendengar suara yang sangat familier, Hanna memberanikan diri menatap langsung wajah pria berkemeja di depannya.
"Elo?" Setelah tahu ternyata laki-laki yang sudah menanam kebencian dalam hatinya ada di depan.
"Gue kira, calon jodoh gue anak sholehah yang sangat anggun seperti cerita mama. Tapi nggak tahunya cewek solimin, sok alim, kasar, dan menor lagi. Elo pinter dandan nggak sih? Ketahuan banget nggak pernah dandan," ejek Ziyan lagi.
Hanna menahan geram dengan mengepal kedua tangannya bawah paha. Ingin sekali dia sumpal mulut si pria yang sok tampan sejagat raya ini. Giginya gemeretak, ingin membalas kalimat Ziyan, tetapi ia masih memikirkan harga diri orang tuanya.
"Baguslah, kalau sudah tahu calon jodoh elo ini cuma perempuan sok. Alangkah baiknya elo bilang sama orang tua kesayangan elo itu untuk batalin perjodohan ini," balas Hanna setelah berpikir panjang. Ia tidak menemukan kalimat selain itu.
"Elo pikir gue babu lo? Bilang aja sendiri! Lagian gue juga ogah sama elo. Udah menor, kasar...."
"Terus aja hina gue, caci gue, fitnah gue," potong Hanna cepat.
"Gue bukan menghina tapi memang kenyataannya."
"Kayak elo itu ganteng banget, sok idola, sok coll, tapi mbah-mbah di sekolah."
"Apa?"
"Elo nggak lulus dalam dua tahun ini kan, berati bukan mbah lagi tapi buyutnya murid-murid," jelas Hanna. Kali ini dia sangat puas bisa mengejek Ziyan hingga wajahnya berubah tidak enak.
"Asal elo tahu, gue punya alasan sendiri kenapa nggak lulus." Nada bicara Ziyan berubah serius. Ia menyandarkan punggung ke sopa sambil menatap Hanna.
"Sepaham gue orang yang nggak lulus adalah orang bodoh. Gue udah ngomong sama umah untuk batalin, sekarang tinggal elo yang harus ngomong sama mama lo. Gue lebih bahagia jomlo daripada harus berjodoh sama lo."
Hanna beranjak dari sopa setelah berkata seperti itu. Baginya tidak ada lagi yang harus dibahas. Hanna sempat berpikir ingin membuat perjanjian pranikah jika memang terpaksa. Namun, kini dia tak perlu lagi setelah tahu ternyata laki-laki yang dijodohin juga tidak suka padanya. Hanna yakin, Ziyan pasti akan memaksa orang tuanya untuk membatalkan pernikahan. Hanna yakin juga Ziyan punya banyak cara untuk menggagalkan perjodohan. Karena pria itu bukan pria yang mudah patuh. Juga pria itu sudah tahu siapa diri Hanna.
Mohon koreksinya ya pemirsa.
Terimakasih sudah mampir, jangan lupa like, komen, dan sher.
YOU ARE READING
Tak Setinggi Langit
Teen FictionHanna punya cita-cita lanjut kuliah setelah tamat SMA, tapi dia harus menerima perjodohan dengan laki-laki yang ternyata musuh bebuyutannya.
