Bab 45

11.9K 2.2K 175
                                    

Mumpung aku agak selo dan ada ide. Komen yang rame ya, gengs.

======

Mata Kinan membelalak. Gadis kecil tetangga sebelah rumah yang disebut Yudis adalah dirinya kan? Atau jangan-jangan, Kinan hanya ge-er. 

"Ya. Itu kamu, Kin." Yudis menegaskan. 

Denyut jantung Kinan mendadak berpacu liar lantaran syok. Yudis mencintainya! Namun, jika Yudis jatuh cinta padanya, mengapa pria itu justru marah besar saat Kinan mengungkapkan cinta monyetnya dulu? 

"Tapi… tapi Mas Yudis dulu marah sama Kinan karena—"

"Usia kita berjarak 12 tahun, Kin," tukas Yudis cepat. "Bukan selisih yang sedikit. Waktu itu kamu adalah anak kecil yang bahkan belum baligh."

Yudis menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Awalnya, saat kamu terus berceloteh tentang rencanamu menikah ala princess dan aku yang jadi pangeran, aku mendapati diriku benar-benar membayangkan pernikahan itu. Dan aku bahagia membayangkannya. Aku yakin aku sudah gila saat itu. Tapi kegilaan itu nyata, apalagi melihatmu tumbuh jadi anak baru gede yang memesona. Perasaan itu menakutkan, Kin.”

Kulit Yudis merinding saat mengingat kembali ketakutan yang ia rasakan dulu. Betapa ganjil dan tak wajar. Bagaimana mungkin pria dewasa sepertinya menginginkan gadis kecil yang masih suka bermain masak-masakan? 

“Aku menginginkanmu, padahal kamu masih kecil,” aku Yudis. “Aku bahkan sempat berpikir untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater karena aku takut, jangan-jangan aku mengidap pedofilia. Tapi rencana itu batal setelah aku bertemu Syifa." Yudis berhenti sejenak untuk tersenyum miris. “Sekilas dia mirip kamu, punya satu lesung pipi, rambut panjang. Bedanya, Syifa sudah dewasa.”

Yudis memandang cangkir kopi. Mengakui semua ini pada Kinan sama seperti menelanjangi diri sendiri. Malu, sampai ia tak berani menatap Kinan. "Mungkin kamu akan berpikir bahwa apa yang kulakukan itu kejam. Menjadikan Syifa pelarian… tapi saat itu hanya Syifa pilihan yang bisa menyelamatkanku."

Menikahi Syifa adalah cara Yudis menyelamatkan diri sekaligus menjaga Kinan. Ia takut suatu saat perasaan cintanya akan jadi obsesi yang benar-benar menghilangkan akal sehat dan ia berakhir merusak Kinan kecil. 

Kinan tertegun. Mungkinkah fakta itu yang membuat Yudis menuduhnya mencari pacar dengan berpatokan pada fisik laki-laki itu? Seperti saat Yudis menuduh Albi mirip dengannya?

Yudis masih melanjutkan pengakuannya. "Syifa berhijab setelah menikah. Aku senang sekaligus ayem karena kemiripannya denganmu jadi tersamarkan. Paling-paling kamu hanya akan notice lesung pipinya, seandainya kalian bertemu."

"Tapi kami nggak pernah bertemu," sambung Kinan. "Ibu sampai marah karena Kinan malah rewel minta diantarkan menginap di rumah Mbah Uti waktu Mas Yudis menikah," kenang gadis itu. Sebagai tetangga sebelah rumah, tentu saja Astuti merasa wajib ikut membantu, menjadi seksi sibuk pada hajatan di kediaman Rahayu. Permintaan Kinan dinilai terlalu mengada-ada dan terpaksa dituruti walaupun disertai omelan. 

"Apa Mas Yudis … mencintai Mbak Syifa, pada akhirnya?"

"Ya, aku belajar untuk mencintainya. Dan aku yakin aku sudah berhasil, terutama saat Syifa memberiku Nola. Sayangnya, itu hanya berlangsung sebentar. Syifa meninggal saat usia Nola hampir satu tahun," beber Yudis dengan nada sendu. 

"Selama menikah dengan Syifa, aku yakin aku sudah baik-baik aja, nggak lagi ingin memilikimu. Tapi tiba-tiba kamu mengaku kalau kamu suka aku dan menciumku. Aku marah sama kamu, tapi sebenarnya aku marah pada takdir yang terus membawaku kembali padamu. Lagi dan lagi. Seolah semua upayaku sia-sia saja." 

"Karena itu Mas Yudis nggak mau pulang ke Lumajang?" Kinan menarik kesimpulan. Ia coba membayangkan kegalauan yang dirasakan Yudis selama bertahun-tahun. Pasti sangat menyiksa. 

"Ya." Yudis menghabiskan kopinya. "Sekarang kamu sudah tahu semuanya." Yudis mengangkat wajah, siap untuk memandang Kinan, menerima apa pun penilaian gadis itu terhadapnya. Entah bagaimana Kinan akan memandangnya sekarang. Laki-laki tak waras? Pedofil? Predator anak? Tidak satu pun label yang terdengar menyenangkan. Namun, yang Yudis temukan pada ekspresi Kinan tidak bisa ia artikan. Apa itu ketakutan? Atau rasa jijik? 

"Kinan nggak pernah menyangka kebenarannya seperti ini," lirih gadis itu seraya ganti menunduk.  "Kalau Mas Yudis su-suka sama Kinan, kenapa… kenapa Mas nggak mau nunggu Kinan dewasa? Dulu kan Kinan minta begitu."

"Berjanji untuk menunggumu dewasa sama saja mengeklaim kamu adalah milikku. Padahal kamu masih kecil, masa depanmu masih panjang. Yang kamu rasakan dulu hanya cinta monyet. Seiring waktu, kamu mungkin akan jatuh cinta pada laki-laki yang sebaya denganmu. Kalau kamu terpaku padaku, kamu mungkin akan kehilangan kegembiraan masa remajamu, Kin. Selain itu, aku takut tergelincir dalam kekhilafan dan melepaskan monster yang ada dalam diriku."

Kinan merenung. Yang dipaparkan Yudis bisa ia pahami dengan baik. Jatuh cinta seharusnya menjadi momen yang membahagiakan, tetapi bagi Yudis dua kata itu justru memberinya siksaan. Sebab ia terus melawannya, berusaha sekuat tenaga mengenyahkan rasa itu, mengatakan pada diri sendiri bahwa Kinan terlarang untuknya. 

Akan tetapi, itu dulu. Bagaimana dengan sekarang? 

"Apa… apa sekarang Mas Yudis masih punya perasaan yang sama untuk Kinan?" tanya Kinan dengan berani. Gadis itu menatap mata Yudistira. Ia memang bukan gadis yang suka malu-malu.

"Menurutmu?" Yudis menantang Kinan dengan halus. "Bahkan waktu nggak akan bisa menghapus perasaan sekuat ini, Kin. Itulah kenapa aku bilang rasa ini menakutkan," kata Yudis setelah Kinan tak kunjung menyahut tantangannya. 

Kinan diam. Kejujuran Yudis terlalu mengejutkan. Perasaan Kinan kini tak menentu dan tidak bisa didefinisikan. Gembira bercampur bingung. 

Yudis mencintainya, dulu dan sekarang pun masih! Sikap ketus dan selalu mengkritik  yang ditunjukkan Yudis pada Albion, mungkinkah disebabkan karena pria itu cemburu? 

Oh, astaga. Kinan tidak tahu harus bereaksi bagaimana. 

Namun, sedari tadi, Yudis sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata untuk meminta Kinan menjadi kekasih. Pria itu hanya mengungkap rahasianya.

Seolah tahu isi pikiran Kinan, Yudis kemudian berkata, "Aku nggak mungkin terus menyimpan rahasia ini. Entah kapan, kamu pasti akan tahu juga. Tapi kamu adalah individu bebas, Kin. Jangan merasa wajib membalas perasaanku atau merasa terbebani setelah mendengar kebenaran ini. Kamu tadi sore sudah bilang kan kalau kamu sudah move on dariku sejak lama. Aku bisa menerima itu." 

Yudis heran sendiri, mengapa dirinya tiba-tiba bijak. Ia hanyalah cinta monyet Kinanti. Namun, justru dialah yang tidak bisa beralih dari gadis itu. Ke depannya, Yudis harus belajar mengikhlaskan. 

Yudis bangkit dari kursi. Pria itu melirik jam dinding. "Sudah jam setengah sepuluh. Aku akan order taksi online untuk antar kamu pulang ke kos, sebelum malam semakin larut."

Kinan mengangguk. Ia butuh sendirian di kamar kosnya malam ini untuk merenungkan segalanya. Kinan menghabiskan kopi, lalu mencangklong tas dan berdiri. 

"Mas Yudis nggak perlu lagi menyembunyikan foto Mbak Syifa. Pasang saja di tempat semula seperti dulu, sebelum Kinan datang. Nola pasti senang kalau bisa lihat foto mamanya setiap saat."


Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang