Bab 43

12.5K 2.1K 132
                                    

Kinan melongo menatap Yudis. Pertanyaan pria itu aneh. Sangat aneh. 

"Memangnya kenapa, Mas?"

Sekarang, Yudis gelagapan karena balas ditanya. Apa tujuannya menanyakan berapa lama waktu yang dibutuhkan Kinan untuk move on? Oh, astaga. Putrinya baru saja tertimpa musibah dan yang ia pikirkan justru cara menjadikan Kinan miliknya! Hebat sekali. Benar-benar ayah teladan. Yudis mencemooh dirinya sendiri. 

Yudis berdeham lagi untuk menutupi kegugupan. "Enggak. Maksudku, putus dalam pacaran itu wajar. Suatu saat kamu akan ketemu sama yang benar-benar pas buat kamu."

Kinan diam dan menatap Yudis tepat di mata. "Mas Yudis sendiri, apa sudah move on dari Mbak Syifa?" tanya gadis itu. Ini pertama kalinya Kinan menyebut nama Syifa dengan lidahnya. "Kemarin Mas mimpiin mamanya Nola, kan?"

Yudis tertegun. Tidak lama, tapi cukup untuk menciptakan jeda senyap di antara mereka selama beberapa detik. "Move on itu bukan berarti melupakan sama sekali, Kin. Move on itu bergerak maju, tidak terus terpaku di masa lalu," jawab Yudis diplomatis.

Kinan mengangguk kecil, meskipun jawaban Yudis tidak memuaskannya. Ia butuh tahu mengapa Yudis tidak menikah lagi atau minimal, punya pacar, setelah Syifa tiada. "Kinan udah membuktikan bisa move on dari Mas Yudis kan? Jadi, move on dari Albi juga nggak akan sulit."

Ada gumpalan yang mendadak menyumbat tenggorokan Yudis. Ya, bukankah dulu ia sendiri yang meminta Kinan membuang cinta monyetnya yang gila itu? 

"Lagian, Albi seenaknya banget minta Kinan ninggalin RCA. Padahal pacaran sama Albi, belum tentu Kinan jadi istrinya. Tapi dengan tetap belajar di RCA, insyaallah Kinan pasti jadi chef," imbuh Kinan berapi-api. "Ya kan, Mas?"

"Ya." Itu adalah argumen yang sangat masuk akal dan tidak bisa dibantah Yudistira.

Bruk! 

Suara benda terjatuh disusul oleh suara tangis Nola seketika mengalihkan perhatian Yudis dan Kinan dari pembicaraan mereka. Keduanya tergopoh-gopoh menuju kamar Nola. 

"Kenapa, Kak?" tanya Yudis panik saat mendapati Nola jatuh terduduk di lantai. 

"Nola kesandung kursi. Sakit, Pa... " isak anak itu sambil memegang lututnya. 

Kinan segera menghampiri, duduk di sebelah Nola dan mengangkat anak itu ke pangkuan. "Cup, cup! Nggak ada yang berdarah kok. Jangan nangis lagi," ujarnya setelah memeriksa lutut Nola. 

Yudis menyingkirkan kursi rendah tanpa sandaran yang biasanya berdiam di pojok kamar putrinya. "Siapa yang geser kursi ke sini? Kursi ini kan biasanya di pojok sana, kok sekarang ada di dekat ranjang?" 

Dengan sebelah lengan digendong, gerakan Nola tentu kikuk dan sulit menyeimbangkan tubuh dengan cepat. Pantas saja anak itu jatuh.

"Mbak Sari yang mindahin, Mas. Mbak Sari tadi duduk di situ."

"Sakit, Tante." Nola mengusap-usap keningnya. 

" Setelah mengembalikan kursi ke tempat semula, Yudis berjongkok, mendongakkan kepala Nola dan memeriksa kening anak itu. "Jidat Kakak kejedot lantai? Kena bagian jahitan?

"Nggak kena, tapi tetep sakit," jawab Nola dengan tangis yang berangsur reda. 

"Kepala Kakak pusing?" selidik Yudis lagi, sambil mengusap-usap kening Nola yang memerah. 

"Enggak."

"Terus, tadi Kakak mau ngapain turun dari ranjang?"

"Nola mau ke kulkas. Mau makan kue cokelat."

Cinta Tak TergantiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang