18. Sweet Warmness(1)

1.4K 283 26
                                    

Ini adalah kali pertama Oliver bersikap dingin denganku. Aku ngerasa nggak nyaman kami diam-diaman selama seharian. Saat makan siang, Oliver menepati janjinya dengan memasak ayam bakar, tapi tetap saja kami nggak terlibat obrolan. Sorenya juga sama, kami masih bergeming. Oliver mengurung diri di kamar sebelah, entah dia sedang bekerja atau menghindariku. Sampai Oliver pulang dari mushola, dia belum kembali bersikap seperti biasa.

"Udah sholat Magrib?" Oliver hanya bertanya sesederhana itu.

Lalu setelah kujawab, kami lagi-lagi hening. Aku berniat memanaskan sisa ayam bakar tadi siang di microwave, tapi ternyata Oliver lebih dulu melakukannya. Kami duduk berhadapan, juga saling tatap, sayangngnya kami mendadak asing. Harus kumulai dari mana untuk mencairkan suasana ini?

"Nanti setelah makan aku olesi salep lagi."

Jantungku berasa melayang tinggi mendengar perhatian Oliver. Aku juga mau nangis karena walaupun lagi marah dia tetap peduli sama aku. Penyesalanku tiba-tiba bertumpuk dan seolah-olah siap meleburkanku di dalamnya.

"Maaf. Maaf karena aku nggak jujur. Aku kira bisa menyelesaikan masalah ini sendiri."

Aku menggaruk-garuk telapak tangan sekaligus memberanikan diri menatap Oliver yang tangannya tertahan di udara, sepertinya dia batal menyendok nasi gara-gara ucapanku.

"Kamu menyesal?"

"Banget," sahutku jujur.

Oliver menggeser mangkuk nasi dan piring berisi ayam goreng. Helaan napas panjangnya lagi-lagi menyentil hatiku. Tapi sentuhannya yang tiba-tiba sedikit menenangkan kegelisahanku. Kedua tanganku digenggam Oliver, dia juga menatapku dengan pandangan sendu. Entah sejak kapan aku menyukai kontak fisik kami.

"Aku marah dan kecewa karena nggak bisa jadi seseorang yang kamu percaya. Apa kamu sempat berpikir kalau aku akan jadi orang bodoh yang nggak tahu apa-apa, yang harus melihat istriku celaka tanpa tahu kebenarannya? Sofie, aku tahu perasaanmu belum untuk aku. Tapi apa untuk menjadi orang yang kamu andalkan pun aku nggak bisa?"

Mataku panas dan air mataku nggak tertahankan lagi. Hatiku sakit membayangkan kekecewaan Oliver. Ya, benar, aku salah karena nggak jujur. Harusnya aku nggak perlu sok menjadi pahlawan yang menjaga nama baik Azmi. Aku sama sekali nggak memperkirakan akan ada kejadian seperti tadi pagi. Kalau saja aku terbuka pada Oliver, pemberontakan Azmi hari ini mungkin saja bisa dicegah. Marahnya Oliver itu wajar, dia merasa dibohongi untuk hal seserius itu. Aku sangat paham Oliver merasa nggak dianggap dan aku nggak punya keberaniannya diri untuk membela diri, karena aku ingat sejak awal Oliver menekankan bahwa kami harus selalu berkomunikasi dengan baik.

"Azmi adik kandungku, sekalipun aku marah aku nggak akan mencelakai dia. Apa yang sebenarnya kamu takutkan, Sofie? Kamu takut hubunganku dan Azmi jadi kacau? Oke, aku paham niat baikmu. Tapi aku suamimu, yang bertanggung jawab atas kamu lahir dan batin. Aku berhak tahu kesulitan yang kamu hadapi, kesedihan yang kamu rasa, dan semua hal yang berhubungan sama kamu. Aku yang akan selalu menemani dan membantumu, Sofie. Kita seharusnya menjaga komunikasi, karena aku pernah bilang salah paham itu terlalu klise. Kita udah dewasa, sulit bangetkah untuk jujur? Aku marah kamu sampai kecelakaan karena Azmi dan aku nggak melakukan apa-apa untuk mencegahnya. Di sini aku ngerasa sakit saat kamu kesakitan."

Oliver menunjuk dadanya. Iya, aku yakin dia pasti sangat merasa sakit. Air mataku mengalir makin deras, tanganku bergetar lebih hebat karena Oliver melepas genggaman kami. Ketakutan jika dia pergi dari rumah di saat kami masih kacau seperti ini menghantuiku. Tapi aku salah, Oliver bukan meninggalkanku, dia berdiri di dekatku. Aku mendongak, membiarkan Oliver mengamati mataku yang basah.

"Setiap ngelihat air matamu, aku juga sakit, Sofie. Bisa nggak kamu lebih ngasih aku kesempatan dalam hubungan kita?"

Dia menghapus air mataku. Aku nggak tahu harus jawab apa, karena perasaanku sangat berkecamuk. Mataku refleks memejam sewaktu Oliver menyelipkan jemarinya ke helai-helai rambutku. Hangat dan tenang, dua hal yang seketika menyelimutiku saat ini.

"Ini masih awal, tapi aku akan tegaskan pernikahan ini selamanya untuk kita. Ya, aku egois, Sofie. Maaf aku seegois ini dalam mencintai kamu. Maaf kalau aku akan melakukan berbagai usaha biar kamu jatuh hati sama aku. Hari ini aku lelah, tapi bukan berarti aku akan berhenti menyayangi kamu. Bisa nggak kamu lebih terbuka ke aku mulai dari sekarang?"

Aku tersedu-sedu setelah Oliver mengecup keningku. Nggak lagi bisa aku bedakan ini tangis sedih atau bahagia, yang jelas aku sangat sadar ketika lebih dulu memeluk Oliver. Sepenuhnya aku nggak ragu melingkarkan tangan di pinggangnya, lalu menempelkan kepala di perut Oliver. Aku merasa berada di pelukan teraman selain milik Bunda dan Ayah. Nggak pernah aku perkirakan bakal sedamai ini rasanya setelah mengungkapkan perasaanku lewat tindakan.

"Bisa, bisa. Aku nggak akan menutupi masalah apa pun dari kamu."

"Alhamdulillah."

Posisi kami bertahan sekitar lima menit. Aku sudah merasa lebih tenang dengan menangis dan Oliver yang sedari tadi terus membelai rambutku. Perlahan aku menurunkan tangan, lalu mendongak dan menemukan Oliver tersenyum. Ah, ternyata aku kangen senyuman ramah itu.

"Kita baikan?" tanyaku pelan.

"Iya."

Dahiku mengerut.

"Katanya baikan, tapi kok masih jutek? Kamu masih marah, ya?"

"Nggak. Aku udah nggak marah."

"Kamu belum maafin aku?"

"Udah."

"Ish! Tapi jawabannya masih jutek. Kalau udah nggak marah harusnya kamu bilang gini, "Iya, kita baikan. Aku nggak marah lagi, Sofie. Tuh, lihat, aku udah senyum, 'kan? Aku juga udah maafin kamu, Sofie". Nah, kamu harusnya bilang gitu."

Oliver terlihat menahan tawa, lalu mencubit pipiku. Apa, sih? Nggak jelas.

"Masya Allah. Istriku kalau cemberut kok tetap cantik, ya? Ini udah boleh dibawa ke kamar nggak, sih?"

Aku melotot, tapi tiba-tiba membeku tanpa ekspresi ketika Oliver mengecup bibirku.

"Nggak dosa, Sayang," katanya santai saat aku masih mencoba memahami situasi.

Oliver kembali duduk di kursinya dan mengisi piring dengan nasi.

Ya Allah! Yang tadi itu beneran? Hah? Beneran?! Nggak mimpi, 'kan? Singkat, tapi kok masih berasa?!

To be continued

Honestly aku puas bagaimana Oliver dan Sofie menyelesaikan permasalahan mereka, sesuai dengan karakter mereka masing-masing. Kalau menurut kamu gimana?

Soon update Sweet Warmness (2)

Shower me with your love, Baby

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Shower me with your love, Baby.

Full of BetonyTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon