2 - San

10 3 0
                                    

Aku marah. Sungguh marah. Wanita itu mempunyai bau busuk di seluruh tubuhnya. Berulang kali aku peringatkan pria tua itu, tapi tetap diabaikan. Tak segan aku dikurung dalam kamarku. Keempat kakinya dibungkusnya dengan sepatu khusus anjing. Moncongku dipasang sebuah brangus, menahanku untuk tidak membuat lolongan peringatan. Terakhir ada rantai panjang yang mengekang pergerakanku. Tali kekang itu sengaja diikatkan pada kerangka ranjang yang jaraknya cukup jauh dari pintu kamar.

Setelah berpuluh-puluh kali mencoba melepaskan brangus, tali kekang, ataupun keempat sepatu di alat gerakku. Hasilnya nihil. Aku kelelahan dan memilih menaiki tempat tidur, sebelum memejamkan kedua mataku.

*

"Hei bangun."

Suara barito sangat familiar di telingaku. Akhirnya, pria tua itu menampakkan dirinya. Raut wajahnya begitu kelelahan, namun diabaikannya. Duduklah dia di pinggir ranjangku. Tangannya mulai membelai pucuk kepalaku.

"Bisa kita bicara?" tanya lembut. Kedua mataku melirik jam dinding. Tiga menit lagi tengah malam, pantas dia mengajakku bicara. Sebentar lagi aku akan berubah menjadi wujud manusia akan muncul. Kuanggukkan kepala, dia tersenyum sambil melepaskan brangus dan beberapa alat yang melekat di tubuh seringalaku.

"Pria tua brengsek," ujarku tepat di pukul dua belas malam.

"Kita bicara. Bukan memaki, mau saya brangus lagi?" balasnya datar tapi mendominasi, membuat bulu leherku berdiri serempak. Tidak mempercayai Gabriel bisa bertahan dengan keangkuhan pria di hadapanku.

"Maaf," cicitku. Aku tidak ingin benar-benar menghancurkan mood pria itu. Aku akan mempercepat perbincangan malam ini agar dia bisa beristirahat nyenyak malam ini.

"Seharusnya saya yang minta maaf, sudah membawa manusia asing ke dalam rumah tanpa berdiskusi terlebih dahulu." Pria itu benar-benar meratapi rasa bersalahnya, entah apa yang ada dipikirannya.

Mendengar ucapan permintaan maaf Robert, ternyata mematik rasa penasaranku. Lantas, aku meminta dia menceritakan semuanya bahkan alasan dia membawa wanita asing ke dalam rumah ini. Lima menit berlalu, berlalu juga penjelasan dari Robert. Sifat dan pemikirannya benar-benar sudah mulai berubah menjadi layaknya manusia umumnya. Memikirkan sekitarnya. Tingkat kepekaannya mulai tumbuh dan banyak lagi. Aku memilih diam, tidak tahu harus mengatakan apa lantaran aku awam dalam masalah ini.

"Saya sudah bilang, besok dia harus pergi dari rumah ini."

"Iya, terserah kamu. Saya cuma numpang disini." Kujawab dengan nada sengak. Jawabanku sepenuhnya tidak ada kesalahan, kenyataannya aku hanya dititipkan dan tidak akan tinggal secara permanen disini. Setelah sembuh, aku berencana akan berkelana dan mencari kehidupan baru sebagai sosok manusia.

"Kamu bukan numpang, tapi kamu milikku. Sepenuhnya memiliku." Pria tua itu mengacungkan sebuah kalung Gabriel ditangannya. Mulutku mengumpat, aku melupakan fakta menyakitkan—kalau kalung kepemilikanku sudah berpindah padanya.

"Ingin saya disiplinkan, huh?" tanya pria itu menarik kasar daguku, seperti memaksaku menatap kedua mata hitam pekatnya.

Aku ketakutan. Pria ini lebih menakutkan dan dominan ketimbang Gabriel. Dia sangat menghargai semua tentang diriku, tidak dengan Robert.

"Kita belum berkenalan lebih resmi." Suara bariton miliknya diam-diam merangsang hasratku. Mulutku mengumpat sekali lagi.

"Sepertinya kamu sudah tidak sabar untuk saya disiplinkan, ya." Robert menjauhkan tangannya dari daguku, menarik sebuah kursi tak jauh darinya dan menghempaskan tubuh atletis di sana.

"Saya Robert, kalau di Langit kamu mengenal saya sebagai Malaikat Lucifer." Aku mengatup mulutku rapat-rapat. Hanya anggukan kepala sebagai jawabannya. "Atau kita mulai saja kegiatan kedisiplinanmu?"

Kepalaku refleks menggeleng. Menolaknya berulang kali. Tapi aura mendominasinya memunculkan rasa takutku bersamaan tangan kekarnya meraih dan memasangkan sebuah ball gag, diambilnya dari saku celananya beberapa detik lalu. Aku lengah, benar-benar lengah.

Hitam pekat ball gag sudah bersarang di mulutku. Hanya suara erangan tak jelas yang lolos dari mulutku setiap Robert menggodaku di bagian tengkuk—area sensitifku. Dalam sekejap, semua alat gerakku sudah terikat di oleh sebuah tali di masing-masing ujung kerangka tempat tidurku.

"Kamu heran kenapa ada tali di tempat tidur ini?" Robert memberikan jeda. Manik mata hitam pekatnya benar-benar menghipnotisku. Tidak ada satu katapun yang meluncur, hanya erangan kemarahan tak terkendali yang lolos. Tangan maupun kedua kakiku meronta tak karuan.

"Kamu ingin tamu asing kita terbangun dan mengetahui kalau kebenaran tentang makhluk Langit?" Kata-kata 'Langit' lagi-lagi menghipnotisku. Memaksaku untuk diam dan menurunkan tingkat emosiku.

Aku berulang kali mengutuk Tuhan—Sang Pencipta—atas indahnya pahatan yang bernama Robert atau Lucifer ini. Rahangnya begitu tegas, walaupun sudah ditumbuhi jenggot tipis. Tangan kekarnya terus bermain di atas puttingku, mempermainkan hastraku yang tidak stabil. Pria itu selalu menghentikan aksi sensualnya tepat selangkah lagi aku mendapatkan kenikmatan. Erangan demi erangan selalu aku suarakan, memintanya bahkan memaksanya untuk tidak berhenti. Tapi, pria itu mengabaikan sepenuhnya.

"Disini saya yang pegang kendali. Kamu hanya menuruti dan menikmatinya," bisiknya tepat di telingaku. Suara bariton Robert lagi-lagi menggodaku, di akhir dengan sebuah lumatan di daun telingaku menambah kenikmatan.

Kemaluanku berkedut berulang kali. Sejenak pria itu melepaskan semua pakaiannya, menampilkan sebuah pahatan indah, yaitu eight pack tercetak. Kedua tanganku meronta hebat. Berusaha meraih, menggapai dan menyentuh kotak-kotak roti di perutnya.

"Kamu mau ini?" tanyanya sambil mengusap perlahan area eight packnya yang sudah basah dipenuhi keringat.

Oh shit, hatiku mengumpat tak berulang kali. Kapan terakhir kali aku mendapatkan kenikmatan ini? Ah, aku ingat. Kenikmatan ini aku dapat bersama Gabriel. Ya, sebelum hubungan kita terbongkar seminggu sebelum Tetua Tertinggi atau Paduka Raja tepatnya ayah Gabriel mengumumkan pernikahannya dengan wanita anggun—Brisca—ditambah pengumuman pewaris tahta Langit berikutnya jatuh padanya.

Rasa marahku mendadak membaur tak karuan dengan rasa nikmat ini. Pelampiasan rasa marahku terkubur rapat dengan rasa nikmat tak terdeskripsikan di tangan Robert. Dengan lihai, kedua jari-jari kekarnya memilin kedua putingku, membuatku mengerang nikmat. Hasratku terpuaskan walaupun sosok Gabriel berulang kali terbayang di benakku. Pandanganku mendadak gelap. Bahkan aku sendiri, tidak menyadari kapan Robert memblokir indra pengelihatanku dengan selembar kain hitam pekat.

"Lupakan Gabriel!!!"

Ucapan Robert benar–benar tegas dan menuntut. Pria itu berhasil meluluhlantakkan tembok pelindung kenanganku bersama Gabriel. Kenangan itu perlahan terbakar bersama penyatuan kami berdua. Aku mengerang sangat keras. Rasa sakit dan nikmat kembali mendominasi pikiranku bersamaan mengalirkan bulir air mata dari pelupuk mataku.

"Ucapkan selamat tinggal, Gabriel!!!" perintah Robert seraya membuka ball gag dari mulutku. Aura mendominasi membuatku kalut dan tunduk. Logikaku sama sekali tidak bekerja, melainkan hatiku yang mengambil alih semuanya, mengikuti setiap perintah Robert.

"Selamat tinggal, Gabriel." Air mataku kembali mengalir ketika kalimat perpisahan selesai aku ucapkan.

"Sekarang kamu milikku, Asher."

Aku—Asher—sekarang milik Malaikat Lucifer.

***

Wild Animal [Robert & San]Where stories live. Discover now