0 - San

25 4 0
                                    


Aku terus berlari, tanpa menoleh kebelakang. Rasa sakitku sudah menjalar ke seluruh tubuh. Inilah hukuman setimpal yang kudapatkan karena sudah memperkosa perempuan Langit. Pemburu itu masih terus berlari, mengejarku hingga dapat. Sudah ada tiga anak panah yang bersarang di punggungku setengah jam lalu. Tidak hanya itu, mungkin dua atau tiga peluru pun sudah bersarang di perut—aku sudah tidak menghitungnya lagi. Bertahan hidup adalah misiku—untuk sekarang. Hutan ini sedang tidak bersahabat denganku, banyak akar pohon yang membuatku terjatuh berulang kali, memperlambat pergerakanku.

Nafasku mulai tersengal-sengal, tapi indera pendengaranku masih menangkap langkah kaki pemburu yang kian dekat. Tidak bisa berlama-lama di satu tempat, aku harus segera berpindah atau mati ditangan pemburu itu. Suara lolongan pun lolos dari mulutku, tanpa dirasakannya kaki belakangku terjerat sebuah perangkap binatang buas. Sakit, itu sudah pasti dan aku hampir merasakan seperti kehilangan kakiku.

Lolongan kembali lolos lagi, seakan meminta bantuan pada manusia untuk melepaskan jeratan ini. Sekali lagi, aku melolong, mengirimkan sinyal bantuan pada siapapun yang melewati hutan belantara ini. Samar-samar indera pendengaranku menajam, mendapati suara langkah kaki. Suara langkah kakinya berbeda dengan yang sebelumnya, begitu santai dan tidak penuh rasa terburu-buru. Kalau itu pemburu, mampuslah aku.

Aku menggeram, siap menerkamnya saat mendapat sosok pria paruh baya yang dipenuhi brewok tipis mendekatiku. Aku menggeram lagi, seperti terancam karena kehadiran pria tersebut. "Easy boy. Saya tidak akan menyakitimu." Pria brewok itu mengulurkan tangannya, berusaha untuk menenangkan diriku. Pria itu menghampiriku, ketika dia merasa aku cukup tenang dan percaya pada pria tersebut, barulah mendekatkan tangannya pada perangkap tersebut.

Tangan kekarnya dengan susah payah membuka perangkap tersebut. Ketika perangkap itu terbuka, aku buru-buru mengeluarkan kakiku. Selepasnya kakiku dari dalam perangkap, aku melolong beberapa kali sekedar mengucapkan terima kasih pada pria itu. Tiba-tiba kegelapan menyergapku, saat aku hendak kembali berlari meninggalkan pria tersebut.

*

"Ternyata kamu bisa jadi manusia?"

Pria separuh baya itu nampak tidak terkejut melihat wujud asliku—atau dia menutupi rasa terkejutnya. Entalah.

"Mitos manusia Langit benar-benar ada." Justru aku yang terkejut mendapati pria itu mengetahui asal-usulku. Aku adalah bagian dari Langit. Sayangnya aku dibuang ke Bumi, akibat perbuatan kotorku yaitu memperkosa perempuan Langit karena sesuatu hal yang belum bisa aku ceritakan sekarang. Pria itu duduk dihadapanku. Menatap lekat-lekat, itu membuat jantungku bekerja lebih cepat daripada biasanya.

"Saya pikir manusia Langit hanyalah mitos belaka." Dia terdiam, mengambil kotak rokok dan menyulutnya. "Robert." Dia menyebutkan namanya. Robert, namanya sangat maskulin cocok untuk pria sepertinya. Gagah, penuh brewok tipis hitam kecoklatan, dan memiliki paras dominan dalam segala hal. Pria itu memalingkan wajahnya, hanya untuk mengepulkan asap rokoknya. Sepertinya dirinya memahami aku sedang sakit, jadi dia tidak sembarangan mengeluarkan dihadapanku. Itu pikiranku.

Aku hendak memperkenalkan diriku, namun tiba-tiba tertahan ketika jari telunjuknya berada tepat di depan mulutku. "Lebih baik kamu istirahat saja. Kita lanjut besok malam." Kedua alisku saling bertautan, mempertanyakan bagaimana Robert tahu kalau aku hanya bisa berubah wujud manusia setiap tengah malam dan berwujud serigala di pagi hari. Robert pun meninggalkan diriku yang berbalut perban dimana-mana, mungkin penampilanku hampir menyerupai mumi.

Kedua mataku tidak bisa mengatup, masih memandangi langit-langit kamar ini. Hatiku terus berdetak tak karuan dan berdoa malam berikutnya segera tiba, karena aku ingin bisa berbicara lagi dengan Robert, layaknya seorang manusia.

Wild Animal [Robert & San]Место, где живут истории. Откройте их для себя