Brukkkk!

Menabrak pohon. Handoyo teruntal ke arah semak dan pingsan seketika, karena benturan di kepala yang cukup keras.

Andri yang mendengar suara dentuman samar-samar seketika mengerem motornya.

Ckittt!

Ia baru menyadari jika kakak iparnya itu sudah tak ada di sampingnya. Tertinggal jauh dan hilang entah ke mana.

Andri kalut memikirkan nasib istri nya atau memutar kepala motor dan mencari Handoyo.

Sepersekian detik ia mematung, tapi akhirnya ia memilih untuk mencari Handoyo.

Ia kemudian memutar motor dan melajukan motor dengan perlahan, sembari celingak-celinguk mencari Handoyo.

Slapss!

Andri spontan me-rem motornya saat ekor matanya menangkap motor yang rubuh di bibir jalan.

Ia kemudian membelokkan motornya dan mendapati Handoyo tengah terbaring tak sadarkan diri.

"Mas! Mas Handoyo!" pekiknya saat ia turun dari motor. Ia mengguncang tubuh kurus kakak iparnya itu dengan kencang.

Perlahan mata Handoyo mengerjap. Saat ia tersadar ...

"Andri! ada pocong, An!" pekiknya tergagap. Keringat dingin mulai mengucur di dahinya.

Bulu kuduk Andri seketika berdiri. Ia bergidik ngeri.

"Sudah, Mas. Ayo, kita pergi dari sini. Apa Mas bisa bawa motornya?"

Handoyo mengangguk. Ia lalu di bantu Andri berdiri dan naik ke atas motor.

Kali ini, Andri mengendarai motor dengan perlahan. Ia takut meninggalkan Handoyo lagi.

Sepuluh menit kemudian, akhirnya mereka sampai di klinik Sejahtera.

Klinik pun tampak sepi. Hanya ada seorang perawat yang kebetulan keluar dari salah satu ruangan.

Ia tampak terkejut melihat kedatangan Andri dan Handoyo di malam hari.

"Suster, apa Bu Bidan ada? Istri saya mau melahirkan,"ujar Andri dengan napas tersengal-sengal.

Suster itu terdiam. Memandang dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Sus, tolong Sus. Istri saya sedang kesakitan!" Andri menekan suaranya kesal. Memperhatikan Suster yang seolah cuek padanya.

"Bapak manusia, 'kan?"

"Apa!?"

Andri semakin kesal mendengar pertanyaan dari Suster di hadapannya itu.

"Suster jangan main-main! jelas saya manusia!"

"Sekarang mana Bu Bidan. Istri saya sedang bertaruh nyawa di rumah. Saya butuh Bu Bidan untuk menyelamatkannya,"wajah Andri semakin gusar. Ia memgusap wajahnya kasar.

Bu Suster segera minta maaf dan memutar tubuhnya untuk memanggil Bu Bidan.

Bu Bidan Dewi keluar dengan wajah takutnya. Memperhatikan lebih intens tamu yang baru saja datang.

Kali ini ia melihat ke arah kaki dan bernapas lega karena dua kaki orang itu menapak di tanah.

"Tolong, Bu. Istri saya mau melahirkan," mohon Andri.

Bu Bidan mengangguk pelan. "Baik, Pak, tapi saya bawa mobil sendiri,"

Andri mengangguk setuju, tapi Handoyo malah mendekat ke arah Bu Bidan.

"Saya menumpang Bu, besok pagi saya ambil motor,"ucapnya dengan suara gemetar.

Kening Bu Bidan mengernyit, heran.

"Tadi, sewaktu kesini Mas Handoyo di ganggu pocong, Bu. Jika Ibu mengizinkan, kami mohon di beri tumpangan untuk pulang, besok kami ke mari ambil motor,"

Bu Bidan menghela nafas. 'Apa ini bentuk modus begal terbaru?' batinnya.

"Bu, kalau Ibu tak percaya sama saya, ini KTP saya, Bu," Andri menyerahkan KTP-nya pada Bu Bidan.

Akhirnya Bu Bidan mengangguk setuju. Ia memanggil supirnya dan menyuruh salah satu suster untuk ikut.

Setelah semua siap, Bu Bidan dan keempat orang itu naik ke mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah Andri yang memakan waktu sekitar lima belas menit perjalanan.

Suasana masih sama. Sepi dan mencekam. Semua orang di dalam mobil merasakan hal yang sama. Was-was dan cemas.

Apalagi saat mobil melewati jalan berlubang dan penuh dengan kerikil, mobil terpaksa berjalan lambat.

Di tengah suasana sepi, yang terdengar hanya suara deru mobil, dan diantara rindangnya pohon-pohon di tepi jalan juga semak, tiba-tiba...

Dendam Arwah BapakWhere stories live. Discover now