Chapter Three

6 1 0
                                    

Shaenette menguap lebar ketika mendengar alarmnya berdering kencang. Dengan mata yang masih tertutup rapat, dia berusaha meraih benda yang menjadi sumber deringan menyebalkan itu. Lima belas detik kemudian, alarm tersebut mati. Shaenette menghembuskan napas lega dan kembali menggeliat di dalam selimutnya. Entah kenapa kepalanya sakit begitu menyadari bahwa tirai jendela kamarnya sudah terbuka dan memberi izin sinar matahari untuk masuk dan membangunkannya.

Ia berdecak kesal. Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, Shaenette berusaha untuk duduk. Dia mengacak rambutnya kesal saat melihat jam dinding yang berada persis di depannya. Pukul sembilan tepat. Masih terhitung pagi. Setahun terakhir dia tidak pernah bangun di bawah pukul sepuluh. Ah, tubuhnya masih terbiasa dengan rutinitasnya di Amerika.

Menyebalkan.

"Shaenette!! Bangun!! Sarapan dulu!" teriak seseorang dari luar. Itu pasti suara Bibi Jung, karena sepanjang ingatannya, Sarah bukan tipe orang yang akan membangunkan anaknya pagi-pagi ketika akhir pekan. "Ayo bangun, Non! Mas David udah siap di bawah!"

Tanpa sadar, ia mengerutkan keningnya. "Ha? Ngapain David siap-siap jam segini?" gumamnya.

"Non mau ke Bandung kan?!"
Mendengar teriakan itu, jiwanya seolah langsung menyatu kembali dengan tubuhnya. Matanya melotot. "OH IYA! BANDUNG!"

| f a l l e n . |

"Wahh... bisa-bisanya ada orang yang ngajakkin pergi tapi malah dia yang lupa," ucap David sinis. Shaenette menanggapinya dengan cibiran. "Gue jet lag parah. Mana gue tahu lo bakal bangun sepagi itu? Biasanya juga lo bangun kalo udah makan siang," balasnya sebal. David melemparkan tatapan tak percaya padanya, yang membuat Shaenette ikut mengerutkan dahinya. "Kenapa?" tanyanya galak.

"WAHH!!" seru David tiba-tiba. "GARA-GARA SIAPA YA GUE JADI RAJIN BANGUN PAGI?! SEINGET GUE SIH ADA ORANG YANG SELALU MAKSA GUE LARI PAGI BARENG DIA GITU."

Shaenette mengibaskan tangannya tak peduli. Siapa yang peduli soal itu? Bersyukurlah kakaknya ini mampu bertahan hidup dengan fisiknya yang lemah karena dipaksa terjun oleh Shaenette ke dunia olahraga. Kalau tidak, mungkin dia tidak akan bisa melewati masa MPLS SMP dan SMA-nya dengan lancar. Dia bahkan tidak akan lolos rekrutmen OSIS SMP-SMA.

Shaenette memutuskan untuk menyalakan radio, namun tangannya langsung ditepis oleh David dalam sepersekian detik sebelum dia menekan tombol on. Shaenette melotot. "Apaan, sih?!" serunya kesal. "Mending pake Spotify aja," ucap David. Shaenette menggeleng. "Gak ah, gue lagi mau dengerin orang ngomong," balasnya.

"Spotify."

"Radio."

"Spotify!"
Shaenette menoleh. Alisnya masih bertaut, entah kenapa mulai merasa aneh dengan sikap David pagi ini. "Kenapa sih?" tanya Shaenette heran. "Kok lo kayak gelisah banget daritadi?"

David menghela napas. Tanpa menjawab adiknya, dia menyalakan radio. Keheningan mobil mulai terisi dengan suara penyiar dari saluran radio favorit Shaenette, yang sedang bergurau dengan salah satu penelepon. David diam, mencoba mengabaikan pandangan Shaenette yang masih melekat pada wajahnya. Dia tidak bisa bilang kalau Chandra meneleponnya dan meracau pukul dua pagi.

"Kapan adek lo pulang, Dave? Gue kangen."

Bagimana dia bisa memberitahu adiknya?

"Jadi?" tanya David, memutuskan mengalihkan topik. "Lo mau ngambil barang apa aja di rumah sana?"

Fallen.Where stories live. Discover now