Chapter One

15 1 0
                                    

New York hebat. Hebat karena bisa membuat jutaan manusia datang dari berbagai belahan dunia dan menganggap tanah ini adalah rumahnya—walau sayangnya, Shaenette tidak begitu. Dia baru setahun tinggal di sini—genap sudah setahun—dan dia selalu merasa ada yang kurang, setiap harinya. Sekolah di sini tidak buruk, terutama makanan kantinnya. Shaenette suka bagaimana mereka menyajikan taco dengan seasoned beef, mengubahnya menjadi hampir mirip kebab. Shaenette ragu pria paruh baya yang sedang berbaring di hadapannya ini suka kebab—Shaenette bahkan ragu dia pernah makan kebab—kendati demikian, dia tetap bertanya, "Dad, do you like kebab?"

Tidak ada jawaban.

Dia melanjutkan, "Have you ever tried kebab before? If you haven't, you should try one. I know a place that make delicious kebab." Aksen Amerikanya tidak mengindikasikan bahwa dia adalah orang Asia, sama sekali. Bahasa Inggrisnya lancar, selancar ia berbicara dalam bahasa Jepang, China, dan Jerman. Selancar ia berbicara dalam bahasa Indonesia, bahasa ibunya.

"We should try it together, later," lanjutnya. Nanti, batinnya.

Pintu terbuka, membiarkan Shaenette melihat sesosok pemuda berusia dua puluhan awal, yang membawa dua buku tipis. Kumpulan puisi, mungkin. Pemuda itu tidak kaget ketika melihat Shaenette duduk tenang di sofa, kemudian berjalan menuju kursi samping ranjang pasien. "You're here," sapanya, "where's Dave?"

"He hates Daddy, do you forget? He doesn't want to visit him," jawab Shaenette seadanya. Tatapannya kosong dan lurus, tidak lepas dari pria lima puluh dua tahun yang terbaring tak berdaya di ranjang dengan ventilator untuk membuatnya tetap bertahan hidup. Pemuda itu mengangguk dua kali, lalu mengamati Shaenette dengan sorot sendu. "Why?" tanya Shaenette dengan kernyitan. Merasa risih karena dipandangi begitu lekat oleh laki-laki ini.

"Nothing. Let's grab some dinner. I bet you haven't eaten anything yet."

"... Well, I haven't—"

"Great. I know a really good restaurant. I want to take you there."

"But," sela Shaenette, "I'm fine."

Laki-laki itu menghembuskan napas berat. "You're here and you want me to eat alone?" tanya laki-laki itu dengan tatapan tak percaya. "Jahat."

Shaenette terkekeh. "Call your sister. She's here, isn't she? Or call your girlfriend, take her on a date. She will love it," seru Shaenette, memberi beberapa ide yang lebih baik dari mengajaknya makan malam, karena dia sedang tidak punya selera. Sama sekali. Entah kenapa dia selalu tidak punya selera makan apabila sudah duduk di sofa ini dan memandangi pria paruh baya itu. Entah kenapa. Itu terjadi begitu saja, walau dia tidak menginginkannya.

"Should I call Dave to pick you up?"

"... No."

"You need him."

"Jason," seru Shaenette dengan tatapan tajam. Dia menggeleng. "Gak papa. Beneran kok. Aku gak mau bikin dia khawatir."

"Shae."

"I'll stay until 9. Just until 9."

Jason menghempaskan tubuhnya ke sofa di sebelah Shaenette. Memutuskan membiarkan gadis ini bertingkah sesukanya. Setahun terakhir dia bertingkah seperti itu, apa bedanya dengan hari ini? Baiklah. Mari biarkan gadis ini mengikuti kata hatinya.

Shaenette jarang ke rumah sakit. Tidak sejarang itu, namun tidak sesering Jason—tentu saja. Sebulan sekali, dia pasti datang. Biasanya pada akhir pekan, ketika tidak ada jadwal yang mengganggunya. Dia akan datang pukul sembilan pagi dan kemudian pulang pukul sembilan malam. Dan selama kurun waktu tersebut, Shaenette tidak akan makan apa pun. Dia hanya duduk di sofa itu, memandangi pria paruh baya ini seharian, kemudian pergi. Jason dan David sudah hafal jadwalnya dan mereka tahu pasti tidak ada yang bisa mengganggu Shaenette selama kurun waktu itu. Tidak ada yang bisa menyuruhnya pergi atau menyuruhnya makan.

Fallen.Where stories live. Discover now