"Tere?"

"Siang, Win. Kata-katamu bagus. Aku cukup terharu."

Winnie tertawa kecil. "Bisa aja."

"Selamat, ya." Tere menyerahkan seikat bunga segar yang Winnie tebak dari taman di sekitar rumah singgah. "Akhirnya kamu bisa sampai di titik ini dan kita ketemu lagi."

"Makasih, Re."

Winnie menerima bunga itu dengan senang hati. Tanpa sadar, ia memeluk Tere erat dan menumpahkan rasa rindu yang tidak dapat dijelaskan. Namun, pelukan hangat yang baru menyentuh kulit itu lekas dilepas karena rasa penasarannya tak dapat ditahan lagi.

"Kamu sendirian?"

Tere menggeleng. "Sama Peter, kok."

"Mana?" Winnie celingak-celinguk.

"Bisa keluar?"

"Oke."

Tere mengajak Winnie ke tempat parkir. Ia membuka pintu depan--bagian penumpang--dan mempersilakan Winnie masuk. Gadis yang tidak menemukan keberadaan Peter itu sontak mengerutkan kening dan melongok ke kursi belakang. Namun, tetap saja nihil. Ia tidak menemukan siapa-siapa.

"Ini, buatmu." Tere menyerahkan sebuah amplop yang dihiasi bunga kering.

"Dari Peter? Emang Peter ke mana?"

"Baca aja."

Winnie mendengkus, sedangkan Tere dengan santai membuka bungkus lolipop yang biasa Peter makan. Gadis itu bersandar pada bantal kursi dan menatap kosong pada spion. Sadar karena salah fokus, Winnie lantas menggeleng dan segera mengeluarkan surat yang dihiasi dedaunan kering. Cantik, batinnya.

Dear, Winnie.

Ada dua kondisi yang harus terpenuhi sebelum kamu membaca surat ini:

1. Aku sudah mati
2. Kamu sudah menjadi versi terbaikmu

Tangan Winnie bergetar. Matanya tak dapat berkedip. Napas yang semula berjalan lancar sontak tersendat dan menyiksa dada. Giginya bergeretak dan tubuhnya seketika melemas. Secarik kertas yang amat ringan itu lantas jatuh ke pangkuannya.

"Re--"

"Kumohon, baca dulu sampai selesai."

Air mata Winnie menetes tak terbendung. Ia kembali mengambil surat itu dan membacanya dengan pandangan kabur. Berulang kali ia mengusapnya agar dapat melihat dengan jelas. Namun, perih di hatinya terus disayat hingga sulit untuk mencerna satu per satu.

Winnie, aku turut bahagia atas pencapaianmu hari ini. Menangislah sepuasmu. Aku nggak akan melarangnya.

Winnie terisak dan memalingkan wajah, menyembunyikannya dari tatapan Tere. Ia menggigit bibir agar tidak terlalu meratapi apa yang sedang ia genggam. Ia hanya menuruti kalimat yang memberinya izin untuk melampiaskan rasa sakit akan kehilangan.

Kamu hebat, Winnie. Aku bersyukur bisa mencintai gadis sepertimu di sisa waktu seperti ini. Terima kasih karena mau menepati janji dan maaf kalau bayarannya hanya sebatas ini. Aku harap, kamu akan terus hidup dan tersenyum sepanjang waktu. Kamu cantik saat pipimu mengembang, tau?

Selamat tinggal, gadis terbaik di atap rumah sakit. Senang bertemu dan mengenalmu. Semoga kamu merasakan hal yang sama.

"Senang bertemu, mengenal, dan mencintaimu juga, Peter."

Winnie meremas surat yang ada di tangannya, lalu menutup wajah. Ia ingin berteriak agar sesak di dadanya dapat mereda. Namun, mau sekencang apa pun ia mengatakannya pada langit, Peter tidak akan kembali walau hanya sedetik.

Tere lantas memeluk gadis yang sesenggukan di sampingnya. Ia biarkan Winnie mengeluhkan perbuatannya yang menyembunyikan semua ini hingga sekarang. Ia rela mendengar umpatan yang terlontar karena menikmati hari terakhir Peter seorang diri. Ia tidak mempermasalahkan semuanya karena Winnie berhak melakukan itu.

"Aku nggak nyangka dia benar-benar pergi," ucap Winnie setelah sedikit tenang, meski suaranya masih terbata.

"Dia pergi sekitar seminggu setelah kepulanganmu."

"Se-lama itu?"

"Aku harus menepati janji buat menunggu hari ini, Win."

Winnie mengembuskan napas panjang dan mengangguk. "Maaf, aku lupa kalau posisimu pasti jauh lebih sakit. Makasih karena mau jauh-jauh ke sini demi ini."

"Sebenarnya aku ke sini bukan untuk ini aja."

"Terus?"

Tere membuka kotak penyimpan barang yang ada di mobil pamannya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah guci keramik seukuran kepalan tangan lelaki dewasa dan menyerahkannya pada Winnie. Gadis yang masih sibuk menghapus air matanya itu lekas menerimanya, walau raut kebingungan masih tercetak jelas di wajahnya.

"Peter meminta kami untuk membakar jasadnya dan menyimpannya di tempat itu. Aku harap kamu selalu mengingatnya."

"Selamanya dia akan tetap hidup dalam ingatanku."

Tere tersenyum mendengarnya, sedangkan Winnie menatap guci putih yang diberi tutup bermotif sayap kupu-kupu itu. Wajahnya sedikit merona, meski kembali menitikkan air mata. Tanpa menunggu lama, ia lekas memeluknya erat, melampiaskan rindu yang tertahan seolah seabad lamanya.

"Kamu tau, Win? Peter tetap memilihmu. Jaga dia baik-baik, ya."

Gadis yang merasakan kejujuran lewat mata lawan bicaranya itu mengangguk yakin. Ia segera memeluk Tere sekali lagi sebelum berpisah. Mungkin, ini benar-benar menjadi akhir pertemuan mereka. Winnie lantas melepas kalung buatannya dan memakaikan pada Tere.

"Jangan ditolak, Re. Ini tanda kalau pemiliknya adalah perempuan kuat."

"Makasih, Win," ucap Tere sambil memperhatikan lambang keabadian pada liontinnya.

"Aku yang harusnya berterima kasih."

Tere mengangguk. "Kalau begitu, aku pulang dulu."

"Em, mau tanya dulu, boleh?"

"Apa?"

"Kalau aku mengirimkan kalian barang kayak sebelumnya apa nggak masalah? Aku nggak akan ke Unknownland lagi, kok. Tapi, biarkan aku tetap dekat sama kalian."

Tere tersenyum tipis. "Tentu."

Rona sedih dan kecewa pada wajah Winnie sedikit mereda. Ia lekas turun dan melambaikan tangan saat Tere menjalankan mobilnya. Erat, ia menggenggam surat dan mendekap guci berisi abu Peter. Gadis itu kemudian berjalan ke taman rumah sakit, lalu melanjutkan kehidupan yang telah ia rakit kembali.

🌻🌻🌻

~ end ~

DAY 25
28 April 2022

Terima kasih sudah membaca cerita ini

1270 kata

Finding Unknownland ✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें