• titik balik •

Start from the beginning
                                    

"Iya, mau sekalian keliling. Numpang, ya, Mang?"

"Silakan!"

Winnie naik setelah Tere mengulurkan tangan untuk membantunya. Peter berjaga di bawah dan bergabung paling akhir. Seperti nostalgia, lelaki itu bersandar pada kepala pikap dan membiarkan Winnie menjadikan bahunya sebagai bantal. Tere yang melihat itu lantas menjaga jarak dan memejamkan mata. Ia berbaring di atas alas kardus, membiarkan Peter dan Winnie menghabiskan waktu terakhir mereka--harapannya demikian.

Peter mengusap dan memainkan rambut Winnie yang masih lurus, meski telah diajak berlarian dari petang. Aroma kopi pada sampo gadis itu sangatlah mencolok dan menenangkan. Ia tidak pernah bosan menghidunya. Lelaki itu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, lalu memejamkan mata dan mengeratkan dekapannya.

"Dingin, Pete?"

Peter melirik Winnie yang berbicara di dalam pejamnya. "Lumayan."

Seketika Winnie mendorong tubuh Peter, lalu berdiri melepas jubah yang dipakai sedari tadi. Setelahnya ia duduk kembali dan menyelimuti kaki hingga dada mereka menggunakan kain hitam yang dijahit ala kadarnya itu. Peter pun tersenyum dan merentangkan tangan lagi, mempersilakan Winnie untuk terlelap di bahunya.

"Pete!"

"Iya?"

"Apa yang harus kulakukan saat sampai nanti?"

"Jadi dirimu sendiri. Lakukan apa pun yang kamu mau. Jangan lupa berbaikan dengan ibumu. Bicaralah baik-baik dengannya. Katakan semua hal yang mau kamu katakan."

"Menurutmu, apa aku bisa melakukannya?"

Peter mengelus kepala Winnie lembut. "Pasti."

Winnie sontak memeluk Peter dari samping. Meski lelah dan ingin terlelap sebelum fajar tiba, ia tidak bisa menyia-nyiakan waktunya tanpa merasakan keberadaan Peter. Embusan napas yang hangat, suara yang tenang, tatapan yang mengagumkan, senyum dan tawa yang candu, apa pun itu, semua tentang Peter terus terngiang-ngiang dan tidak ingin dilepaskan. Winnie makin mendekap erat.

"Apa kita bisa ketemu lagi, Pete?"

Peter terdiam. Bisa atau tidak, bukan hanya ia yang menentukan. Tuhan turut ikut andil. Meski ingin, bisa saja besok hari napasnya diputus oleh-Nya. Namun, kalau boleh memutuskan sendiri, tentu ia mau mengiakan pertanyaan itu. Sayangnya, lagi-lagi ia tidak boleh egois. Menuruti kemauan ini hanya akan menghambat proses lupa yang amat susah dilakukan.

"Kalau kamu di atas nanti, aku akan menemuimu."

"Di atas?"

"Iya," Peter mengangguk, "kalau kamu udah bangkit jadi Winnie yang kuat, Winnie yang menang, dan Winnie yang menerima dirinya sendiri."

"Aku akan melakukannya."

"Untuk dirimu sendiri, oke? Jangan karena aku menginginkannya."

Winnie mengangguk. "Aku akan membuktikan pada mereka dan membuatmu bangga. Aku nggak akan membiarkan perjuangan kalian berakhir ampas gitu aja."

"Aku harap hal ini nggak jadi beban buatmu. Aku dan Tere ikhlas melakukannya. Ya, mungkin anak itu ada keterpaksaan sedikit, tapi kami menerimamu tulus, Win."

Air mata Winnie menetes tanpa permisi. Ia buru-buru menghapusnya. "Aku paham, kok. Makasih, ya."

"Aku juga."

Peter memalingkan wajahnya agar tidak melukai Winnie. Bukan hanya ia yang terluka di sini. Bahkan, Tere yang sayup-sayup mendengar percakapan itu ikut meringkuk dan menitikkan air mata. Ketiganya tenggelam dalam kesedihan masing-masing hingga pikap yang mengantar ke area rumah sakit telah sampai di perempatan lampu merah.

Hanya beberapa lembar uang dan ucapan terima kasih yang Tere ucapkan. Ia ditinggal di belakang setelah Peter dan Winnie berjalan lebih dulu. Mereka bergandengan tangan dengan jari-jemari bertaut erat. Ia pun memutuskan untuk menunggu di pos satpam dan duduk di bagian teras.

Winnie tidak paham alasan Peter membawanya kemari, mengingat ia sudah lama kabur dan besar kemungkinan ibunya tidak ada di sini. Namun, ia menurut saja saat lelaki itu mengajaknya ke taman tempat kedua kali mereka bertemu.

"Duduk dulu."

"Kenapa kita ke sini?"

Peter duduk berjongkok di depan Winnie. "Karena kamu berasal dari sini."

"Kamu bisa mengantarku ke rumah."

Peter tersenyum dan menggeleng. "Itu tugasmu. Pulang adalah salah satu pilihan. Aku lega kamu udah berpikiran ke sana, Win."

"Kalau pulang termasuk pilihanku, apa tinggal di sini pernah menjadi pilihanmu, Pete?"

"Pernah."

"Kalau gitu, tinggallah di sini. Sama aku."

Peter menggenggam kedua tangan Winnie. "Tapi aku udah memilih buat mengabdikan waktuku di rumah singgah. Dengan Tere."

"Apa aku egois kalau memintamu meninggalkannya?"

"Tempatmu di sini, Win, sedangkan tempatku di sana. Aku tetap tinggal bersama Tere di rumah singgah bukan berarti aku nggak memilihmu."

Winnie menunduk. Ia menggeleng kecil, menyalahkan dunia yang detik ini terlihat kejam padanya. Namun, Peter lekas mengangkat dagunya dan menatap lekat. Lelaki itu tersenyum dan mencubit hidungnya gemas. Ia tidak ingin raut manis yang sebelumnya dipenuhi tawa itu lesu berlarut-larut.

"Aku bahagia bisa mengenalmu, Winnie."

"Iya, aku juga."

"Makasih karena mau bertahan. Meski singkat, aku mencintaimu."

Winnie membalas senyum Peter. "Aku juga."

Mereka pun berpelukan untuk terakhir kali. Erat, sangat erat hingga lupa waktu untuk melepaskannya. Peter lantas mengusap wajah Winnie dan menelusuri pipi gadis itu menggunakan jari-jarinya. Ia menatap lembut seolah meminta izin, yang kemudian dibalas dengan kedipan pelan oleh Winnie. Sebagai penutup perpisahan, bibir mereka bertemu cukup lama yang diiringi tangis tanpa henti.

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 24
28 April 2022

1216 kata

Finding Unknownland ✔Where stories live. Discover now