• keluar rumah •

Start from the beginning
                                    

Samar-samar Winnie dapat mendengar percakapan itu. Namun, tidak banyak yang ia tangkap. Jelasnya, ia dapat merasakan kekhawatiran di raut wajah Tere. Bahkan gadis yang amat jarang berbicara dengannya itu terus menatap seolah mereka tidak akan pernah bertemu lagi--dalam artian negatif. Meskipun bisa jadi iya, Winnie tak merasa harus sedrama ini, mengingat orang yang paling menginginkan kepergiannya adalah Tere.

Setelah memastikan barang bawaan tidak ada yang ketinggalan, Peter memakaikan jubah hitamnya pada Winnie. Ia menjepit rambut gadis itu agar tudungnya yang cukup besar tak goyah ke mana-mana. Tak lupa mengaitkan pita di bawah leher agar angin malam tidak menyiksa kulit. Ia kemudian menarik tangan Winnie dan menautkan jari jemari mereka.

"Jangan pernah kamu lepas, ya," pesannya sebelum melangkah keluar rumah.

"Iya, aku janji."

Peter menoleh ke arah Tere dan anak-anak abadi lainnya. "Kami pergi dulu."

"Hati-hati."

Tere lekas mematikan lampu teras, halaman rumah, dan seluruh taman. Peter kemudian berjalan dan memanfaatkan gemerlap stiker dari sepatunya sebagai cahaya pengganti. Renda rok Winnie ternyata memiliki kemampuan yang sama layaknya sinar kunang-kunang. Mereka berjalan cepat dan mengendap-endap ke arah selatan, menembus hutan yang sepertinya belum ada di memori Winnie.

Jarak mereka sangatlah dekat. Peter tak membiarkan Winnie menjauh darinya seinci pun. Lelaki itu kerap celingak-celinguk mencari sesuatu yang harapannya tidak akan muncul. Semilir angin mulai menusuk dan jalur yang mereka tempuh makin berliku-liku. Sesekali kaki tersandung saking gelapnya. Namun, tak sepatah keluh pun terucap.

"Sial!"

Cahaya kuning dari arah kiri sontak menyilaukan mata. Peter lekas menutup bagian bawah jubah Winnie dan menariknya bersembunyi di balik semak-semak. Pelan, ia berjalan jongkok sehati-hati mungkin agar tidak menimbulkan suara. Winnie yang menggigit bibir mulai gemetaran dan berkeringat dingin.

Peter mencoba melongok, mencari tahu siapa atau apa yang mencolok di seberang sana. Namun, tidak ada gerak-gerik lagi yang muncul. Kalau memang penebang liar, harusnya mereka bercakap-cakap layaknya biasa. Toh, area sini jarang dikunjungi orang lain. Akan tetapi, tempat ini masih senyap, membuat degup jantungnya makin tak tenang. Pikirannya juga tak dapat berpikir positif. Peter lantas membawa Winnie melewati area yang belum memiliki jejak kaki.

"Pete, kamu nggak apa-apa?" tanya Winnie lirih.

Telapak tangan Peter terasa lembap dan dingin. Deru napasnya juga terdengar menyakitkan. Perjalanan mereka masih jauh, terlebih sekarang harus melewati tumbuhan liar yang rantingnya kerap mengusik dan menusuk kulit. Bahkan, ujung jalannya saja tidak terlihat. Winnie ingin mengeluh dan meminta Peter untuk berhenti. Namun, lelaki itu terus berpikir bagaimana cara agar bisa keluar tanpa dibayangi sorot cahaya misterius beberapa waktu lalu.

"Pete--"

"Sstt!"

Peter berbalik badan menghadap Winnie dan menutup mulut gadis itu menggunakan telunjuknya. Baru saja, ia mendengar gesekan dedaunan dari kejauhan. Peter lantas mematikan lampu buatan pada sepatunya dan berdiam sementara waktu hingga merasa aman. Winnie turut menutup mulut. Kali ini perasaannya benar-benar dicampur aduk. Ingin menatap Peter, mencari ketenangan dan kepercayaan diri yang tinggi. Sayangnya gelap malam yang dibantu sedikit cahaya bulan tak banyak menolong.

"Bau kopinya ada di sekitar sini, Bli."

"Iya, aku juga menciumnya."

Sial, batin Peter. Benar-benar ada orang di sekitar sini. Walau belum tahu siapa mereka, ia tetap ketar-ketir. Winnie pun sama. Saat mendengar percakapan itu, ia lekas mencengkeram tangan Peter dan memejamkan mata, mendoakan segala hal agar ia bisa lolos dari sini--ia ingin hidup.

Peter menajamkan pendengarannya agar dapat mengetahui dari sisi mana suara itu muncul. Setelah memastikan tempat yang tepat, ia kemudian meminta Winnie untuk berbalik arah dan berjalan lebih dulu. Pelan, sangat pelan, bahkan injakan pada ranting kering pun tak terdengar, mereka menghindari dua lelaki--sepertinya--yang ada di dekat situ.

Namun, mau berhati-hati sekalipun, nasib sial tidak ada yang tahu. Winnie terantuk batu kecil hingga tersungkur. Bunyi yang lumayan terdengar--karena sunyi--itu membuat siapa saja dapat menyadari keberadaannya.

"Siapa itu?"

Peter membekap mulut Winnie agar tidak panik. Rintihan sakit gadis itu juga lantas tersamarkan. Ia memeluk dari belakang agar sekitarnya kembali hening dan tak mencurigakan.

"Hewan mungkin, Bli."

Suara tersebut terdengar makin mendekat. Peter menelan ludah dan bersiap berdiri. Ia menggenggam tangan Winnie erat dan mengisyaratkan gadis itu untuk berlari. Mereka benar-benar hendak melakukannya saat lampu kuning dari seberang tadi muncul di atas kepala mereka.

"Iya, dua hewan dari rumah singgah."

Peter mendongak, lalu menaburkan pasir yang diambil dari dalam kantong tas ke muka kedua lelaki di belakangnya. "Lari!"

"Sialan! Berhenti kamu, Pete!"

Kali ini giliran Winnie yang menarik tangan Peter--karena berada di depan--dan lari sekencang mungkin. Ia menerjang ranting-ranting yang mungkin telah menggores kulit dan wajah cantiknya. Ia tidak peduli, yang penting bisa menghindari dua momok menakutkan yang baru ia temui seumur hidup.

Gadis itu terus berlari dengan mulut menahan teriakan. Ia baru berhenti saat merasa genggamannya melonggar dan sosok di belakangnya memelankan langkah. Winnie sontak terbelalak ketika Peter menepi dan menjatuhkan diri di atas semak-semak. Dengan tangan kanan mengusap dada, tangan kirinya kepayahan mencari botol obat yang tersangkut di kantong sebelah kiri.

"Maaf, maaf, aku lupa."

Peter menggeleng. Ia tidak memiliki waktu untuk menjawab karena sekarang saja hampir kehabisan napas. Ia lekas meminum obat yang disodorkan Winnie tanpa bantuan air. Sayangnya, nyeri yang menyerang tak kunjung reda. Justru pandangannya makin berbayang dan gelap yang sedari tadi muncul telah menguasainya seratus persen.

"Pete, jangan bercanda." Winnie menepuk-nepuk lengan lelaki itu sambil mengedarkan pandangan. "Kita pulang, ya."

Lagi-lagi tidak ada jawaban. Bahkan senyum tipis pun tak dimunculkan. Peter masih berusaha menguatkan genggamannya pada tangan Winnie, tetapi dayanya tiba-tiba turun drastis sampai tak kuasa berbuat apa-apa.

Aku nggak masalah kalau berakhir seperti ini, asal kamu hidup.

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 22
27 April 2022

1319 kata

Finding Unknownland ✔Where stories live. Discover now