Tubuhnya melayang sebelum jatuh di atas lantai. Pemandangan indah yang bisa dia lihat sebelum matanya terpejam adalah sosok Albie yang menoleh ke arahnya.

*
"Saya sudah menduga ketika Anda membawanya ke Trauma Center, Khan."

Samar, Jaiden mendengar percakapan dua orang.

"Saya terlalu takut untuk mengakui bahwa dia bukan orang dari Greamor."

Itu suara Albie, Jaiden ingin membuka matanya, tetapi susah. Seluruh tubuhnya sama sekali sulit untuk digerakkan.

Percakapan itu makin lama makin samar, Jaiden kembali mengantuk. Tidak lama setelah itu, kegelapan kembali dia dapatkan.

"Jangan sampai Logan tahu, Dokter Morgan."

Jaiden kembali mendengar percakapan. Tidak hanya satu kali dua kali, tidak hanya satu orang dua orang.

Sesekali lelaki itu mendengar Albie mengeluh, marah, dan menangis. Ingin sekali rasanya bangun dan mendekapnya ke dalam pelukan.

Namun, lagi-lagi ketika lelaki itu berusaha untuk bangun dia tidak berdaya. Bahkan untuk membuka kelopak matanya pun dia tidak mampu.

"Ini sudah tiga hari, Dokter, kapan dia bangun?" Suara Albie terdengar putus asa.

"Saya tetap memantau, Khan, tetapi saya tidak bisa fokus selama dua puluh empat jam di sini. Semua orang bisa curiga jika terus menerus meninggalkan Clinic dan Trauma Center."

"Kabari jika ada perkembangan, saya juga tidak bisa terus di sini. Serangan blatta kembali menggila. Logan percaya kalau Jaiden berhasil keluar dari Greamor dan mengirim lebih banyak blatta ke sini."

Seberkas cahaya didorong dengan percakapan serius antara Morgan dan Albie, membuat Jaiden perlahan bisa membuka matanya.

Langit-langit berwarna putih bersih adalah pemandangan pertama yang Jaiden lihat. Penglihatannya masih belum jelas, semua benda terlihat ganda. Jaiden membuka mata perlahan-lahan, dunia seakan mengucapkan selamat datang kembali.

Tenggorokan yang kering memaksanya untuk terbatuk beberapa kali. Bagai ada duri yang terus-menerus menggelitik bagian dalam tenggorokannya.

"Jaiden! Jaiden! Kamu sudah bangun?" Albie bangun dari duduknya, hatinya luar biasa senang karena berhari-hari Jaiden tidak sadarkan diri.

"Albie, haus," rintih Jaiden.

Albie memberinya minum, aliran air melewati tenggorokan Jaiden, rasanya sejuk seperti guyuran hujan yang membasahi tanah kering di musim kemarau.

"Dokter Morgan belum kembali, apa yang kamu rasakan sekarang?" tanya Albie dengan nada suara penuh rasa khawatir.

Dengan melihat satu kali, Jaiden tahu di mana dia sekarang. Sebuah kamar dan itu bukan di Clinic. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, tempat tidur besar dengan kain rapi berwarna hijau pupus ada di seberang tempat tidur Jaiden. Di sisi kanan ada pintu dengan pintu full cermin dua arah.

Jaiden meraih tangan Albie yang berusaha memeriksa keadaan lelaki itu. Dia menempelkannya di pipi, merasakan aroma manis yang dia rindukan.

"Tidak apa-apa," jawab Jaiden.

"Suara kamu serak, mau minum lagi?"

"Boleh?"

"Tentu saja boleh, untuk makan, aku belum bisa kasih, kita tunggu dokter Morgan kembali." Albie mengambil air putih dan meletakkan sedotan di ujung bibir Jaiden yang kering terkelupas.

"Merterina," ucap Jaiden.

"Untuk apa?" tanya Albie.

"Karena menyelamatkan nyawaku."

Fighter's Prejudice (Tamat, Proses Revisi)Where stories live. Discover now