• perahu danau •

Start from the beginning
                                    

"Peter, apa aku boleh--"

"Pete!"

"Kak Peter!"

Ucapan Winnie terpotong karena Peter memilih mencari sumber suara yang memanggilnya. Senyuman lelaki itu akhirnya merekah setelah mendapati Tere dan anak-anak abadi tertatih-tatih membawa perahu kayu sederhana. Ia lantas berlari menghampiri mereka dan turut membantu, mengingat benda itu lumayan berat untuk diangkat perempuan dan anak kecil.

Peter dan para kawannya meletakkan perahu dadakan itu di tepi danau. Seketika Tere dan anak lainnya langsung merebahkan diri dengan napas terengah-engah. Winnie yang tak tahu apa-apa hanya ternganga dan refleks mundur, menjauh dari sekelompok penghuni rumah singgah itu.

"Dosamu besar kalau setelah ini masih marah denganku, Pete," ucap Tere tanpa menatap lawan bicaranya.

"Aku nggak pernah marah dengan siapa pun."

"Bullshit." Gadis itu pun duduk dan menyeringai.

"Makasih, ya." Peter mendekati Tere dan memeluknya. "Aku kemarin belum sempat membawanya ke sini.

"Nggak masalah. Nikmati harimu."

"Kamu mau ke mana?"

Tere menunjuk anak-anak abadi menggunakan matanya. "Aku harus mengurus mereka. Kalau aku nggak ikut pulang, mereka hanya akan menggangu kalian di sini."

Peter mengangguk, paham akan kekhawatiran sahabatnya. "Sekali lagi, terima kasih."

Tanpa menjawab, Tere mengajak lima anak laki-laki di dekatnya untuk pulang. Mereka kompak berpamitan pada 'Kakak Cantik' saat Winnie mengangkat wajah dan tersenyum. Lambaian tangan Peter pun menjadi penutup perpisahan itu.

"Kamu yang membuatnya?"

Peter mengecek kondisi perahunya sebelum menjawab, "Iya. Sebenarnya udah lama, cuma baru kesampaian dibawa ke sini."

"Kupikir dibuat khusus untukku."

"Nggak salah, kok. Emang dibuat khusus untukmu," ucap Peter lirih.

"Gimana?" Winnie tidak mendengarnya.

"Ah? Enggak, nggak ada. Mau ke tengah?"

"Mau banget."

Rona wajah Peter bersemu kemerahan. Ia tidak menyangka perahu ini akan berguna juga. Ia sengaja membuatnya kalau Unknownland menerima pengunjung yang tepat. Pengunjung yang memerlukan penyembuhan diri, pengunjung yang menginginkan ketenangan sejenak, atau pengunjung yang mengenalkannya pada kematian. Ia lekas mendorong perahu yang sudah diduduki Winnie itu ke danau, lalu ikut duduk sebelum mendayungnya menuju tengah.

Winnie dan Peter duduk berhadapan, membuatnya dapat melihat setiap garis wajah gadis yang tak berhenti tersenyum itu. Auranya terlihat bugar, entah karena cahaya senja atau karena dedaunan orange di sekitar. Binar mata yang memancarkan kekaguman itu mampu menetralkan degup jantung Peter.

"Aku belum pernah ke tempat seperti ini."

"Iya?"

Winnie mengangguk. "Wisata-wisata di kota nggak ada yang sealami ini."

"Kamu suka?"

"Pasti." Winnie tersenyum menatap Peter. "Lega rasanya. Nggak tau kenapa."

Peter tersipu dan lekas memalingkan wajah. Ia terus mendayung hingga sampai di tengah. Setelah berhenti dan dunia seolah mengizinkan mereka untuk berbicara satu sama lain, Peter meletakkan dayungnya ke perahu dan memandangi Winnie.

"Apa aku boleh nanya?"

Gadis yang masih tersenyum itu mengangguk. "Tentang tadi, kan?"

"Iya, kalau kamu nggak keberatan."

"Kamu nggak perlu marah ke anak-anak itu, Pete, apalagi ke Tere. Mereka nggak ngelakuin apa-apa. Aku aja yang terlalu lemah."

"Aku nggak menyalahkan mereka, kok. Nggak marah ke siapa pun. Tapi, bukan berarti dibiarkan gitu aja."

Winnie menghela napas. "Ibuku mantan figuran di tahun 90-an. Kenalannya di industri hiburan lumayan banyak. Aku memulai debut sebagai bintang iklan dan makin naik setelah main serial dengan salah satu anak artis yang cukup terkenal."

Peter menyimak. Ia tidak ingin menginterupsi. Terlebih saat melihat mata Winnie berkaca-kaca, ia makin enggan dan memilih untuk diam.

"Lelaki itu dua tahun lebih tua dariku. Hampir selama syuting, dia selalu memuji lekuk tubuhku yang katanya ideal, enak dilihat, dan idaman setiap kaum. Emang terdengar biasa aja, tapi matanya yang lihat ke mana-mana bikin aku risi." Perlahan Winnie memeluk tubuhnya. "Sampai akhirnya dia berani menyentuhku. Mencubit pipiku, mengusap daguku, sampai menepuk pantatku. Aku merasa hina, Pete."

Peter mencoba maju mendekati Winnie. Ia melakukannya dengan hati-hati agar perahu mereka tidak limbung, sedangkan gadis yang ia tuju telah menyembunyikan wajahnya di balik kedua lengan.

"Aku nggak tahan dan curhat ke mana-mana, bahkan ke ibuku sendiri. Tapi, nggak ada yang percaya. Sekalipun percaya, mereka malah menganggap remeh. Setelah kuadukan ke media sosial, semua orang menuduhku keganjenan. Katanya, mustahil lelaki seperti dia mau repot-repot menjailiku. Apalagi kariernya bukan main, jadi terlihat nggak mungkin ngambil risiko kayak gini. Tapi, aku nggak salah, Pete. Dia benar-benar ngelakuin itu. Kenapa mereka memberlakukan double standard pada lelaki yang bermasalah? Apa aku nggak bisa dapet keadilan?"

Peter berhenti tepat di tengah perahu dan merentangkan kedua tangannya. "Mendekatlah, Winnie."

Gadis itu perlahan mendongak, lalu berpegangan pada perahu untuk sampai ke tempat Peter. Ia kemudian menyentuh tangan lelaki yang lekas memeluknya tersebut. Peter pun mengusap rambut Winnie kemudian menepuk-nepuk punggungnya lembut.

"Maaf karena pernah berpikir masalahmu nggak seberat itu, Win."

"Mau sampai kapan pun, berita ini tetap tertulis di riwayat hidupku. Terus buat apa aku tetap hidup, Pete? Aku nggak sudi hidup sebagai 'gadis ganjen kemarin sore' kayak gini."

"Lalu apa ketika mati, predikat itu bisa terhapus dari jejak hidupmu, Win?"

Winnie terdiam sejenak. "Seenggaknya aku nggak perlu peduli duniawi saat mati nanti."

Peter menggeleng. "Seharusnya paling nggak kamu membersihkannya dulu, jadi predikat itu nggak kebawa sampai alam lain."

"Capek, Pete. Nggak ada yang percaya sama aku."

"Aku percaya."

"Ck, kamu pikir satu orang aja cukup?" Winnie memutar bola matanya.

"Segala sesuatu bakal terasa kurang kalau kamu terus mencari yang nggak ada, Win."

Winnie tak menanggapi lagi. Tatapannya berubah kosong, lagi. Peter lekas menggenggam tangan Winnie yang terus bergetar. Ia ikut menatap bawah, mengikuti arah pandang gadis di depannya itu.

"Win?"

"Hem?"

"Mau menyelam bersama? Sesak sendiri pasti kesepian."

"Boleh."

Detik berikutnya, Peter dan Winnie lekas berdiri bersamaan. Tangan mereka masih bertautan. Mereka juga kompak melepas alas kaki. Setelahnya, dalam hitungan ketiga, sejoli itu menjatuhkan diri ke dalam air dengan mata tertutup.

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 9
13 April 2022
(masih utang)

1331 kata

Finding Unknownland ✔Where stories live. Discover now