• taman samping •

Mulai dari awal
                                    

Setelah bangku di sampingnya kembali sepi, Winnie menghela napas. Lagi-lagi ia sendiri. Namun, bukankah itu lebih baik? Winnie menggeleng, setelahnya mengangguk. Ia menampar pipinya sendiri kemudian mengusap wajah. Sadar, Winnie, sadar, batinnya berulang kali bermonolog.

"Gimana? Sudah memerlukan namaku?"

Gadis yang hendak berdiri dari kursi rodanya lekas duduk dan tersentak. Ia memegang dadanya yang berdegup lebih cepat. Seketika Winnie menoleh, mendapati lelaki yang sama seperti hari sebelumnya tengah tersenyum lebar di belakang sambil melambaikan tangan. Gila, jarak wajah mereka yang tak lebih dari dua jengkal membuat Winnie buru-buru menjalankan kursinya hingga menabrak pohon.

"Pelan-pelan aja, aku nggak menyakiti siapa pun, apalagi kamu, Nona."

"Aku udah bilang, jangan memanggilku 'Nona'."

"Aku harus apa? Aku belum tau namamu dan kamu belum mau memberitahunya."

"Kamu nggak perlu memanggilku."

Tanpa beban--seolah sudah terbiasa, Peter duduk bersila beralaskan rumput. Ia kemudian memetik bunga liar yang ada di dekatnya. Dengan telaten, ia menggabungkan bunga-bunga itu menggunakan ranting tipis yang sedikit basah. Untuk kesekian kali Winnie hanya menatapnya dan tak terburu-buru enyah dari sini.

"Kamu ngapain ke sini?" tanya Winnie menaruh curiga. Sudah dua kali Peter menemukannya tengah bergelut dengan batin sendiri.

"Aku di sini bukan karena takdir. Kilau rambutmu membuatku tertarik untuk mendekat, lagi."

"Ck, aku bahkan belum membuka topiku."

Peter mendongak dan terkikik. "Iya juga."

Winnie memutar bola matanya dan kembali bertanya, "Kenapa kamu selalu--"

"Bentar …."

Gadis yang belum menyelesaikan kalimatnya itu bergeming saat Peter mendekat dan memasangkan gelang ke pergelangan tangan kirinya. Perpaduan putih-kuning yang kini menghiasi kulit pucatnya itu tampak indah dan memesona. Winnie pun tersenyum dan menatap lelaki berambut sedikit bergelombang itu.

"Makasih, ya."

"Hanya hadiah kecil."

Winnie menggeleng. Ia tidak merasa hal ini sekecil itu. Bahkan, mungkin tas dan sepatu branded hasil endorse ini-itu akan kalah darinya. Ia tak berhenti memandangi mahakarya Peter yang sebenarnya cukup menggelitik dan menyisakan rasa gatal.

"Jadi, siapa namamu?"

"Namaku--"

"Itu Winnie! Winnie!"

Tak hanya pemilik nama, Peter pun ikut menoleh. Dua orang berpakaian hitam yang membawa kamera tengah berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Peter segera menarik kursi roda Winnie, lalu mendorongnya menjauhi taman.

Winnie terus melirik ke belakang. Matanya melebar, tubuhnya gemetaran dan giginya bergeretak. Telapak tangan yang semula kering berkat terik matahari seketika kembali dingin dan lembap. Peter terus membawa gadis itu menyusuri lorong hingga tiba di tempat yang cukup jauh dan gelap.

"Kamu nggak apa-apa?"

Seharusnya, Winnie-lah yang bertanya. Deru napas Peter tak terlihat baik-baik saja. Namun, ia sendiri belum bisa membuka mulut. Dadanya panas dan sesak, seolah ratusan komentar hujatan beberapa waktu lalu kembali menyiksanya.

"Apa mereka yang membuatmu terjebak di tempat ini?" tanya Peter seraya menatap Winnie lekat.

"Jangan sok--"

"Sekali-sekali jangan melarangku untuk tau tentangmu, Winnie."

Winnie tertegun. Peter menyebut namanya. Dengan perlahan, suara lembut, tatapan sendu dan senyum yang terlihat lebih tulus dari gelak tawa ibu dan manajernya. Namun, hal itu tak membuatnya lebih baik. Mungkin iya, dalam sejenak. Sekarang, ia benar-benar ingin meninggalkan lelaki tersebut.

Walaupun nanti berharap dapat menemuinya kembali.

🌼

"Winnie."

"Siapa?"

Peter menggeser duduknya hingga tak berjarak dari Tere. "Nama gadis itu."

"Kamu menemuinya lagi?"

"Aku nggak sengaja ketemu di taman tadi."

"Jujur aja kalau kamu mencarinya, Pete."

Tanpa bisa dipungkiri, Peter tertawa. Ia kalah. Sahabat kecilnya itu memang tahu segalanya. Menang dari Tere cukup sulit, mengingat hampir 24 jam mereka menghabiskan waktu bersama. Di kamar, taman, atap rumah sakit, danau tak berperahu, jembatan silang, sungai berpenghuni, bukit kenangan, dan masih banyak lagi. Peter tidak sanggup jika harus menyebutkannya satu per satu.

Lelaki itu pun beranjak dan mengeluarkan buku catatan yang ia bawa setelah mengelilingi seluruh bangsal. Tere lekas mendengkus dan menepuk jidat. Jangan lupa dengan gelengan tak percaya yang membuat Peter tertawa terbahak-bahak.

"Kutebak, kamu menemukan kamar rawatnya."

"Cukup mudah."

"Kamu mau apa, Pete?"

"Nggak ada. Jaga-jaga aja."

"Jaga-jaga untuk apa?"

Peter duduk di pinggiran jendela dan menatap senja yang mulai turun. Ia merenung, memikirkan jawaban yang tepat. Namun, detik berikutnya ia hanya tersenyum dan mengangkat alis. Hal yang sangat tidak membantu rasa penasaran Tere.

Gadis yang cukup jengkel dengan kelakuannya itu lekas berdiri dan memukul kepala Peter menggunakan bantalan sofa. Ia terus melakukannya sampai Peter mau bercerita. Sayang, dibanding bersusah-payah merangkai kata, Peter lebih baik menikmati pukulan empuk yang tidak seberapa.

"Ehm, ehm!"

Sejoli yang asyik dengan dunianya sendiri itu lekas menghentikan aksi mereka. Kemudian berdiri tegap dan menutup mulut, menunggu wanita ber-snelli memasuki ruangan dan menurunkan tangan yang bertengger di kedua pinggang. Tampang seram seperti hendak menerkam membuat Peter menelan ludah dan beringsut-ingsut menuju kasurnya.

"Kamu membuat ulah apa lagi, Pete?"

Peter menggeleng cepat. "Anak baik nggak ke mana-mana hari ini."

"Iya?" Dokter tersebut mendekati Peter dan meraih pergelangan tangannya. "Hanya mulutmu yang bisa berbohong di sini."

Tere tertawa dalam diam, sedangkan Peter hanya menyengir dan menggaruk tengkuk yang tak gatal. Keduanya belum membuka suara lagi sampai sang dokter menyampaikan maksud kedatangannya.

"Kamu bisa pulang."

"Yah, kok, boleh?" Bukannya senang, Peter malah merajuk.

"Kamu mau tetap di sini?"

Dengan cepat Peter mengangguk. Ia juga memasang senyuman terbaiknya, seolah tidak ingin diusir secepat itu. Dokter langsung menoleh, mencari keberadaan Tere. Namun, gadis yang dicari justru menutupi wajahnya menggunakan rajutan yang belum selesai.

"Hm, biasanya kemungkinannya cuma ada satu. Urusan apa yang belum selesai?"

Peter bergumam sejenak. "Dokter bisa menjaga rahasia, nggak?"

"Sejak kapan ada rahasia-rahasiaan segala?"

"Sejak bertemu sosok yang spesial."

Dokter berambut pendek itu memutar bola matanya. "Baiklah, apa itu?"

Peter lantas mendekat dan berbisik. "Aku belum bisa pulang karena orang yang mencariku belum melakukannya. Jadi, tunggu sebentar lagi, ya, Dokter Cantik."

"Okelah, kalau begitu."

🌻🌻🌻

~ to be continued ~

DAY 2
5 April 2022

1304 kata

Finding Unknownland ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang