31. Naufla is gone?

771 73 14
                                    

Beberapa jam sebelumnya,..

Bocah cantik dengan balutan perban di sekeliling kepala serta sisi pipinya begitu antusias memainkan ranjang khusus pasien milik dirinya ini.

Entah berapakali Naufla memencet tombol yang ada di dinding sisi ranjang ini. Naufla suka sekali tubuhnya bisa naik turun, sandaran ranjangnya pun sama, dan bagian lekukan kaki yang juga bisa ditekuk, diangkat, diluruskan. Mata Naufla berbinar indah dibuatnya.

"Naufla!" Tegur Flarita duduk di kursi samping ranjang. Matanya menutup menahan marah. Di tangannya ada mangkok penuh berisi bubur.

"Naufla! Kamu dengar mamih bicara?!" Tegas Flarita melotot galak. Tangannya menepis kasar pada tangan Naufla hingga tak bisa memencet tombol.

"Harus banyak makan! Kamu harus cepet sembuh! Kemaren kamu udah lewatin castingnyaaa!" Lanjut Flarita menyimpan mangkok bubur dengan keras. Dua tangannya lalu melipat angkuh.

"Ayo laah, Nooof. Ck! Pleasee!" Lirih Flarita menggaruk tengkuknya dengan kasar.

Naufla menatap dalam diam. Terlihat bocah cantik ini ketakutan. Mata lemah Naufla memancarkan ketakutan juga kesiagaan. Naufla berjaga-jaga takutnya ibunya semakin menjadi.

"Mamih ngapain di sini? Nonof maunya bunda, bukan mamih." Naufla berucap dengan nada rendah. Tubuhnya bergeser memokok.

"Bunda, bunda, bunda! Ga ada bunda-bunda!!" Teriak Flarita berdiri menghempas tangan.

"Mamih tahuu,.. mamih tahu itu bukan bunda kamu. Wlee! Haha. Emang tuh, kakak kamu sama bapaknya sama aja! Ngehalu!" Ucap Flarita mengejek.

"Bapak kamu tu matre, ga mungkin mau sama cewek miskin yang kerjanya jadi asisten." Flarita berkacak pinggang.

Naufla meringis menutup mata kala wajah itu mendekat. Flarita seperti hantu, matanya melotot lebar.

"Kamu tahu? Bapak kamu bisa sukses, kaya raya, masuk forbes, itu karena akuu! Karena mamih kamu iniii!" Geram Flarita menekan dada tak tenang.

"Harusnya Nonof tu milih tinggal sama mamih aja, biar kedidik, jadi anak rajin."

"Bukannya mamih yang dulu marah-marah ngasih Naufla ke baba gara-gara Naufla masuk ke kamar mamih?" Tanya Naufla begitu polos tanpa menyudutkan.

Flaritta mengerling tak bisa menjawab, lalu dirinya meraup napas sebanyak mungkin. Ya, memang Flaritta yang dulu menyerahkan paksa Naufla, padahal Naufla belum menginap sama sekali.

"Katanya Naufla pembawa sial? Harusnya mamih jauhin Naufla." Naufla mmebenarkan duduknya. Tubuhnya menyandar lemah pada sandaran yang sengaja berdiri.

"Kata baba, jangan malah jadiin Naufla sapi peras. Naufla harus menikmati apa yang Naufla mau, bukan harus jadi robot," lanjutnya menatap polos ditengah ketakutannya pada sang ibu.

"Naufla juga ga mau deket-deket mamih. Selain mamih kayak hantu, mamih juga kalo marah suka seperti zombie." Naufla mengedik, matanya menyipit merasa ngeri.

"Apa?!!" Pekik Flaritta melotot mengibas satu sisi rambut agar telingannya tak terhalang.

"Mam-mamih juga mulutnya kayak orang kesurupan. Kata kak Flori sama baba juga gitu." Naufla mulai menciut semakin takut.

"Heh! Ayo bicara lagi! Berani kamu sama mamih, yaa?!! Haaa?!!" Desis Flaritta berujung membentak menyeramkan dengan wajah mendekat.

"Anak nakal! Ga berguna! Harusnya mati aja!"

Naufla dengan bakutan kassa di wajahnya itu sontak meringis menutup mata. Segera wajahnya ia tutup dengan kedua tangan, dua kakinya melipat, tubuhnya meringkuk memojok.

My Handsome Boss, My Lover [ON GOING]Where stories live. Discover now