3. Menenangkan Diri

4 1 0
                                    

Selepas ditinggalkan oleh pria bernama Kyoji tadi, Lyra keluar dari apartemennya dengan perasaan tidak menentu. Bingung, bersalah, kesal, dan marah berkecamuk di hatinya.

Saat ini, bayangan ekspresi terluka yang terpancar dari wajah pria itu tidak berhenti berputar di kepalanya. Membuat perasaannya yang memang sudah tidak menentu jadi semakin tidak karuan. Dia butuh tempat yang dapat membuatnya dapat berpikir, setidaknya tidak terpaku pada perasaan bersalah. Dunianya terbalik dalam semalam, kalau bisa otaknya jangan ikut-ikutan terbalik pula.

"Oke, coba kita kumpulkan semua fakta yang bisa kita raih," gumamnya sambil berpikir.

Satu-satunya hal yang jelas untuk Lyra kini adalah Kyoji sudah terbukti secara legal merupakan suaminya yang sah. Sudah dua tahun menikah pula. Dan, kata pria itu tadi, mereka semalam ....

"Lupakan! Fokus Lyra, fokus ...." Lyra menggeleng-gelengkan kepalanya.

Lyra butuh sesuatu untuk meyakinkan hatinya yang kini kalut. Dia butuh alasan logis kenapa dia bisa melupakan 'suami'-nya itu hanya dalam semalam. Dia harus mencari tahu apa alasannya.

Namun, di mana dia dapat menemukan alasan itu?

Kepada siapa?

Amnesia jelas bukanlah alasan yang tepat untuk kelupaannya. Saat mandi tadi, Lyra sudah meneliti seluruh bagian tubuhnya. Tidak ada bekas luka atau benturan di kepalanya. Tubuhnya pun bersih dari sakit, lebam, atau trauma. Itu membuat Lyra yakin, bahwa amnesia bukanlah alasan tepat untuk ketidakingatannya itu.

Atau dia memiliki alzeimer? Itu penyakit pikun yang biasanya menyerang orang tua. Penyakit yang perlahan-lahan mengurangi kemampuan otak manusia untuk mengingat orang-orang di sekitarnya atau fungsi-fungsi spontan lainnya.

"Tidak, pasti bukan alzeimer. Kalau alzeimer, tanda-tandanya pasti sudah muncul sejak beberapa bulan lalu untuk bisa sampai ke titik ini. Tidak mungkin aku tiba-tiba lupa pada hal mayor seperti suami sendiri!"

Ini sangat tidak masuk akal. Dia bahkan lupa pada perasaannya ke pria itu. Pria yang seharusnya suaminya.

"Lagi pula, orang dengan alzeimer tidak akan melupakan perasaannya pada orang lain secepat aku melupakan suamiku sendiri. Jadi kenapa?"

Ah ... aku tidak akan dapat berpikir di sini.

Ya, dia hanya tahu satu tempat yang dapat membuatnya berpikir lebih tenang. Tempat yang tidak jauh dari apartemennya. Tempat yang selalu dapat membuatnya lebih nyaman.

Danau.

"Tapi, kan, aku harus ke kampus hari ini," bisiknya pada diri sendiri. "Kalau aku tidak masuk lagi, kemungkinan aku akan diberi E oleh Bu Berta!" Lyra menggaruk kepalanya dengan kasar.

Suara berderap dari arah belakang memecah lamunannya. Dia tahu siapa pemilik derap langkah itu. Lyra sudah terlalu biasa mendengar langkah berirama itu di telinganya.

Tuk tuk tuk tap. Tuk tuk tuk tap. Tuk tuk tuk tap.

"Sumpah ya! Lo jalannya cepet banget, sih?" ucap pemilik derap langkah itu sambil sesekali menarik napas. "Capek gue ngejer lo dari ujung jalan tahu enggak?"

"Siapa yang nyuruh lo ngejar gue, Lintang?" Lyra menjerengkan matanya kemudian menatap sinis teman seangkatannya itu.

"Karena gue ... gue ...." Pemuda bernama Lintang itu tiba-tiba terdiam di tempat. "Tunggu, tadi gue mau ngomong apa ke lo?"

Lintang, si pemilik langkah berderap itu menatap Lyra tanpa berkedip. Seolah-olah sedang takjub pada dirinya sendiri yang begitu cepat melupakan kalimat yang sudah tersusun rapi di otaknya.

Peculiar HusbandWhere stories live. Discover now