2. Orang Aneh

12 1 0
                                    

Bagi Lyra yang terbiasa hidup secara stagnan, hal-hal yang tidak bisa diprediksi adalah hal yang mengerikan. Karena outcome dari hal-hal yang tidak bisa diduga itu juga tidak bisa dia duga.

Misalnya dulu saat dia bermimpi menjadi penulis. Dia tidak pernah menduga kalau keluarga besarnya akan langsung menolak ide itu mentah-mentah. Penolakan itu membekas di hatinya dan membuatnya tidak lagi berani bermimpi. Sejak itu, menurutnya hal-hal yang tidak terduga akan menyakiti hatinya.

Lagipula, mimpi seperti apa yang bisa diraih oleh seorang gadis tanpa orang tua sepertinya? Bisa hidup dengan tenang tanpa dituntut hal ini dan itu saja rasanya sudah menjadi privilege yang tidak akan pernah dia dapatkan.

Hidup menjadi anak yang dirawat semua orang sepertinya harus terbatas dengan rasa syukur.

Bersyukurlah kamu ada yang merawat.

Bersyukurlah kamu masih bisa sekolah.

Bersyukurlah masih ada yang mau membiayai kamu kuliah.

Selain rasa syukur, dia juga dibatasi oleh balas budi. Setidaknya itu yang kakek dan neneknya katakan berulang kali. "Besok kalau kamu sudah sukses, kamu harus membalas kebaikan tante dan ommu yang sudah merawatmu sejak kecil."

Dengan semua hal itu, Lyra rasa sangat logis jika dia hanya memikirkan bagaimana caranya untuk hidup tenang. Mimpi? Bullshit! Itu adalah privilege yang tidak dia miliki.

Karena itu, kehadiran pria di kontrakannya saat ini juga merupakan satu dari sekian hal tidak terduga yang membuat diri Lyra takut setengah mati. Apa kata keluarga besarnya nanti? Bisa-bisa Lyra langsung dinikahkan di tempat.

Tunggu! Lyra mengingat sesuatu yang lebih janggal dari kemunculan pria itu di kasurnya tadi.

"Suami? Kapan aku menikah?" gumamnya frustrasi.

Kemarin, Lyra terbangun sebagai mahasiswi semester lima biasa yang menikmati hidupnya yang biasa pula. Dia bangkit dari tempat tidur untuk mengambil salah satu novel fantasi favoritnya dan memasang earphone kesayangan di telinga. Dia berangkat kuliah, tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Sampai di kampus, sambil menunggu kelas dimulai, dia akan membaca novel itu dan tenggelam di dunia si penulis. Hanya dirinya, buku, dan musik. Tanpa memikirkan apa pun.

Sederhana.

"Apa yang berbeda dengan hari ini?" gumamnya lagi sambil meremas rambut sebahunya yang berantakan.

Tadi pagi, Lyra terbangun di pelukan seorang pria yang tidak dia kenali. Pria itu menatapnya mesra dan memanggilnya dengan nama yang berbeda. Pria itu, yang belum dia ketahui namanya, tidur di sampingnya dengan bertelanjang dada—tidak bahkan bukan hanya bertelanjang dada, dia tidak mengenakan sehelai pakaian pun kecuali selimut yang mereka pakai—BERDUA!

Dan yang sangat mengejutkan, Lyra juga tidak mengenakan apa-apa di balik selimut yang mereka kenakan. Siapa pria itu? Jangan tanyakan padanya. Lyra sendiri pun ingin mengetahui hal itu.

"Hana, kenapa bangun cepat banget?" ucap pria berahang keras dan berambut berantakan yang baru saja muncul di pikirannya. Tampilan pria itu sudah berbeda, bagian bawahnya kini sudah ditutupi celana pendek berwarna hijau tua. Tangannya yang lentik dan berjari panjang sesekali mengucek mata, tampak masih mengantuk. Pria itu baru saja keluar dari kamarnya tanpa merasa bersalah, apalagi kaget. Seolah hal yang terjadi tadi pagi adalah hal yang biasa terjadi untuknya.

"Hana? Siapa Hana? Siapa kau?" Lyra memandang tajam pada pria yang bertelanjang dada di hadapannya.

Lyra sudah tidak dapat membendung pertanyaan itu untuk keluar dari bibir mungilnya. Tubuhnya tiba-tiba merasa panik.

Peculiar HusbandWhere stories live. Discover now