Part 45 - Fighting Our Demons

233 41 1
                                    

Ella hampir tidak mengingat kapan terakhir kali dirinya menginjakkan kaki di Kediaman Wijaya. Bila mengingat sejenak ke belakang, sejak kematian sang Ayah dirinya menghabiskan waktu di rumah sang Kakak atau di apartemen Reno. 

Tadi saat Reno menawarkan diri untuk turun dan menemaninya, Ella dengan tegas menolak. Ia tidak ingin membuat Mama kembali histeris bila melihat Reno menginjakkan kaki di sini. Awalnya Reno meminta Ella untuk kembali ke rumah Danu, namun entah mengapa ia sangat ingin kembali ke sini. Sudah terlalu lama ia menghindari rumah yang menjadi bagian hidupnya itu.

Ella merebahkan diri di kasur sambil menatap langit-langit kamar, sejenak memejamkan mata dan menghirup udara di sekitarnya. Seperti baru kemarin ia menghabiskan waktu di kamar ini dan sang Ayah akan tiba-tiba muncul hanya untuk berbincang. 

Sambil tersenyum, Ella mencoba merangkum emosi yang dirasakannya selama ini. Ia perlu segera mencapai tahap terakhir dari lima tahap kesedihan di hidupnya, Acceptance. Ia hanya anak tujuh belas tahun yang menyadari bahwa ibu yang melahirkan dan tidak pernah ditemuinya itu tidak dicintai suaminya. Sang Ibu hanya kurang beruntung mencintai seseorang yang tidak mencintainya kembali, tapi bukan berarti ibu berhak memaksakan pria itu untuk bersamanya kan? Mendapatkan raganya tapi tidak hatinya, untuk apa? Dalam prosesnya membuat sebuah keluarga lain menderita. Kak Kyra...

Yah, semua memang harus terjadi bukan? Kalau tidak begitu Kak Kyra tidak akan pernah bertemu Kak Danu.

Ella pun mengangguk setuju dengan benaknya yang sedang berbicara. Apa ia menjadi seperti sang ibu? Tidak tahu kapan waktunya berhenti? Ella sadar ia sudah melewati batas, berharap Reno bercerita padanya tentang apa yang dialami pria itu sedangkan tidak ada apapun untuk mereka di depan. Ia tahu ia harus menjauh, tapi kenapa sangat sulit? 

Gadis itu akhirnya membuka mata dan duduk tegak di tengah kasur, sambil menyilangkan kedua kakinya pandangan Ella mengamati isi kamar lamanya itu. Tidak ada yang berubah, hanya dirinya yang semakin hampa akhir-akhir ini. 

Sang Mama bahkan tidak menyapa saat melihat Ella masuk rumah, mereka benar-benar seperti orang asing. Andai saja ia tidak pergi, andai saja Papa masih di sini.

Setidaknya Mama terlihat lebih sehat, El.

Ella tidak tahu sikap positif atau penyangkalan yang sedang diucapkannya untuk diri sendiri.

Tanpa sadar air mata sudah menetes di pipinya, Ella mencoba menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengembuskannya perlahan. Ini tidak mudah, pikir Ella. Nyatanya meskipun ia mencoba menenangkan diri, air mata yang tumpah tidak kunjung reda. Ia semakin terisak hingga menangkupkan kedua tangannya ke wajah untuk meredam suara tangis.

Semua pikiran yang ia singkirkan bila sedang bersama orang lain kini mulai bermunculan, rasa penyesalan, kehilangan, marah, sedih, kecewa semua melebur jadi satu. Ella sendiri tidak tahu bagaimana caranya keluar dari pusaran kehampaan yang menghampirinya.

Bunyi dering ponselnya membuat Ella meraih tas tangan yang diletakkannya di ujung kasur, sebuah nomor tidak dikenal muncul di layar ponselnya. Merasa tidak pada kondisi yang memungkinkan untuk bicara, ia pun menekan tombol volume down untuk membuat ponselnya dalam mode hening. 

Dering ponselnya kembali terdengar, membuat Ella akhirnya menyerah dan menekan tombol hijau namun kali ini tanpa melihat caller id pada layar, "Halo?"

****

Reno bersandar di pintu kamar Ella sambil mendengar gadis itu berbicara pada seseorang di ujung sambungan telepon. Wajah gadis itu menunjukkan banyak ekspresi, membuat Reno bertanya-tanya siapa penelpon yang membuat gadis itu kelabakan saat ini. 

Cinderella's BeastWhere stories live. Discover now