EPILOGUE

167 16 0
                                    

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦

Seorang gadis rupawan bergaun putih menapak keluar dari portal, menginjakan kaki ke bentala berselimut salju. Surai pirang yang membingkai perangai tertiup sang bayu, membuatnya terbang di antara hembusan angin dingin. Kedua netra emasnya melihat sekeliling, mengamati pemandangan familier di hadapan.

Hutan dengan pepohonan tinggi, udara nan menusuk tulang dan lanskap sebuah istana kristal yang berdiri megah jauh di utara. Gadis itu mengepalkan telapak tangan. Pemandangan di muka membuatnya teringat akan mimpi buruk yang tak ingin ia ingat.

Sang puan segera menggelengkan kepala, berusaha mengusir gambaran-gambaran dari sisa mimpi buruknya beberapa hari lalu. Setelah merasa pikirannya menjadi lebih tenang, ia menoleh ke belakang― memandang seorang anak laki-laki bersurai jingga yang menatap hamparan salju di bawah kakinya. Bocah itu masih terdiam di depan portal.

Sang anak mengangkat kepala, permata safir berisitatap dengan netra aurum yang mungkin tak akan pernah dilihatnya lagi. Ia melangkahkan kaki, berjalan mendekat ke arah si perempuan yang berdiri di hadapan.

Anak itu― Ajax masih terus menatap sang guru, berusaha membaca guratan ekspresi pada perangai menawan tersebut. Mentornya kini telah mengalihkan pandangan darinya, sepasang mata emas memandang ke arah angkasa yang menurunkan kepingan-kepingan putih. Salju kembali turun.

Adiratna itu menghela napas, mengakibatkan uap putih terbentuk di udara kemudian menghilang. Sambil menatap serpihan salju yang meleleh di tangannya, ia berkata, "Kita berpisah di sini."

Ajax menunduk begitu mendengar pertanyaan dari sang perempuan bergaun putih. Ia menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak menangis. Ludah pun ditelan agar isak tak lucut dari bibir, mengabaikan rasa sakit bak ditusuk duri di tenggorokan.

Anak itu telah berusaha semampunya untuk tak menangis. Namun, air mata yang sudah mengumpul di pelupuk mata kini tak mampu dibendung. Tirta-tirta bening meluncur membasahi pipinya yang memerah karena dingin, memberi kehangatan yang perih. Isakan pun turut keluar bersamaan dengan tubuh mungilnya yang bergetar akibat tangis.

Perempuan pirang yang berdiri di sebelahnya menatap bocah malang itu dengan pandangan sendu. Raut bekunya telah hilang, berubah menjadi guratan ekspresi sedih yang kentara.

Kurasa tak apa untuk berekspresi sedikit di sini. Lagipula, ini mungkin akan menjadi pertemuan terakhir kami, batin sang puan sambil menghela napas. Senyuman getir terulas setelahnya, menghias paras yang selama ini tak pernah mengguratkan rasa.

"Ajax," panggilnya dengan nada lembut.

Ajax pun menoleh dengan netra yang terus mengeluarkan air mata, mendapati mentornya yang tengah tersenyum ke arahnya. Wanita muda itu lalu berjongkok, menyelaraskan tinggi dengannya. Sang adiratna tampak tak seperti biasanya. Ia tersenyum.

Sang puan kini merentangkan kedua tangan, senyuman lembut nan sendu itu masih menghiasi perangai indahnya. "Kemarilah, Ajax," panggilnya.

Begitu melihat gestur demikian, air mata Ajax turun semakin deras. Sambil menangis kencang, anak lelaki itu langsung memeluk perempuan yang telah mengajarinya cara menggunakan senjata selama tiga bulan tersebut― yang mana langsung dibalas dengan pelukan oleh sang adiratna.

Ajax tak mengucap sepatah kata pun, yang keluar dari mulutnya hanyalah isakan pilu. Sang gadis berambut emas pun sama, ia hanya diam dan mengelus punggung ringkih dalam pelukannya. Tak perlu ada kata yang diucap untuk menumpahkan rasa, suara tangis sesegukan itu sudah menjawab semuanya.

※※※

"

Sampai jumpa, Master. Aku berharap, kita dapat bertemu lagi suatu hari nanti."

Ucapan Ajax tersebut membuat iris emas milik sang puan membelalak sepersekian detik. Ia memejamkan mata, kemudian merekahkan senyum simpul― tersenyum bulan sabit.

"Sampai jumpa, Ajax," balasnya. Ia kembali membuka matanya, menampakan sepasang mata aurum yang menyiratkan kegetiran dan harapan. "Aku juga. Semoga kita bisa bertemu lagi."

Mendengar balasan dari sang guru, Ajax tersenyum lebar. Anak itu kemudian berlari ke depan, meninggalkan sosok perempuan bergaun putih yang masih berdiri di titik yang sama. Ia menoleh untuk terakhir kalinya, melambaikan tangan kepada sang gadis dengan senyum menahan air mata.

"Sampai jumpa lagi, Master!" teriaknya dengan lantang, lalu kembali berlari ke depan.

Sang puan yang masih terdiam hanya memandang anak itu dengan senyuman, melihat hingga punggung kecil tersebut hilang dari pandangan. Ia memejamkan mata, menyembunyikan kilat harapan dalam matanya.

"Hati-hati di jalan, Ajax."

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦

The End

𝐐𝐔𝐈𝐍𝐓𝐄𝐒𝐒𝐄𝐍𝐂𝐄 || 𝙲𝚑𝚒𝚕𝚞𝚖𝚒Where stories live. Discover now