PROLOGUE

317 24 0
                                    

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦

Dadanya naik turun tidak karuan, hidung dan mulut meraup oksigen dengan rakus. Dengan sebilah pedang di tangan mungilnya, seorang anak laki-laki bersurai oranye berbalut pakaian musim dingin berdiri gagah di atas tanah berselimut salju. Syal merah rajutan ibunya berkibar diterbangkan angin dingin yang berhembus ganas, membuatnya tampak seperti seorang pahlawan di buku-buku dongeng.

Namun, kilatan dari sepasang mata birunya sama sekali bukan seperti seorang pahlawan. Bukan kilatan keberanian maupun kemarahan yang ada di sana. Ketakutan― hanya emosi seorang penakut yang terpancar dari netra samudranya.

Anak laki-laki itu menelan ludah kasar. Di hadapannya, seorang makhluk bertubuh kayu dengan mata tunggal yang menyala berdiri tegak. Makhluk tersebut tinggi dan besar, kedua tangan serta kakinya amatlah panjang. Dilihat dari mana pun, si makhluk kayu― Ruin Guard bukanlah tandingan anak malang itu.

Aku ingin pulang, bisik sang anak dalam hati sembari memejamkan mata. Tapi....

Ia membuka matanya, menatap pedang di genggaman sebelum menatap makhluk kayu raksasa di depannya. Aku tidak akan melarikan diri!

Sembari berteriak, anak lelaki itu berlari ke arah Ruin Guard di hadapan dengan kecepatan penuh. Ia mengayunkan pedangnya sekuat tenaga, berharap dapat membelah makhluk tersebut menjadi dua.

Namun realita tak selalu manis. Ruin Guard itu dengan mudah menghalau serangan lemah tersebut. Dengan tangan raksasanya, sang makhluk raksasa menangkap anak laki-laki bersyal merah tersebut dan melemparnya ke udara.

Alhasil, sang anak malang terbang beberapa meter dari titik berdiri si makhluk kayu. Punggungnya menabrak batang pohon cemara dengan sangat keras sebelum jatuh ke permukaan bersalju yang empuk. Pandangannya mulai buram, dan rasa sakit yang menghujam punggung kecilnya sama sekali tak memperbaik situasi.

Anak itu berusaha bangkit, namun tak bisa. Tubuhnya serasa tak dalam kendalinya― tubuhnya mati rasa.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, sang anak bersyal merah berusaha menolehkan kepalanya ke arah makhluk kayu yang telah melempar dan membuat punggungnya remuk. Pandangannya buram, namun ia dapat melihat dua kaki raksasa yang berjalan menuju arahnya.

Apakah ini akhirnya? Sebulir air mata menetes membasahi pipi pucatnya. Apa aku akan mati?

Anak malang itu memejamkan mata, membiarkan air mata mengalir deras dari pelupuk mata. Ayah, Ibu, maafkan Ajax.

Maafkan Ajax karena telah menjadi anak nakal, maaf karena telah kabur dari rumah.

Helaan napas keluar dari mulut kecilnya, membentuk sebuah uap putih yang lalu menghilang di udara. Maaf karena telah membawa pedangmu tanpa izin, Ayah.

Anak tersebut membuka matanya dengan susah payah. Penglihatannya buram, tidak terlalu jelas. Rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya membuatnya meringis, memperkabur pandangannya yang telah pirau.

Anton, Tonia, semuanya... maaf. Kelopak matanya terasa kian berat. Karena Ajax tak akan bisa pulang untuk makan malam bersama....

Sesaat kemudian, kedua netranya tersembunyi dibalik kelopak mata― ia tak sadarkan diri. Sekelebat sosok bergaun putih menjadi pemandangan terakhir yang dilihatnya sebelum tertidur dalam mimpi tanpa akhir.

※※※

Seorang adiratna bergaun putih berjalan menapaki daratan yang bersalju, rambut pirang yang membingkai wajahnya terbang ditiup hembusan angin dingin. Langkahnya terhenti di hadapan raga tak berdaya seorang anak laki-laki bersurai jingga yang menyerupai senja.

Perangainya dingin, tak berekspresi sama sekali. Kedua netra emasnya mengamati anak yang tak sadarkan diri itu. Untuk sepersekian detik, pandangannya melunak― tampak lembut dan bersimpati― sebelum kembali dingin tanpa emosi.

"Anak yang malang, tersesat ke tempat menyedihkan seperti ini," bisiknya pelan di antara angin yang berhembus dengan ganas.

Perempuan dengan hiasan dua bunga putih di kepala itu berjalan ke arah sang anak, mengangkat dan membopongnya dalam sebuah gendongan. Hal tersebut mengundang keterkejutan pada dua makhluk aneh bertopeng yang membawa tongkat dengan kekuatan elemen di tangan yang membuntutinya― Abyss Mage.

"T-Tuan Putri?!" pekik dua Abyss Mage itu, suara mereka terdengar terdistorsi dan aneh.

"Aku akan membawanya ke markas," ucap si pirang sembari berlalu.

"Tapi--"

Netra emasnya melirik para Abyss Mage dengan pandangan tajam. Kedua makhluk bertopeng aneh itu pun menelan ludah dan merespon dengan jawaban lain. "B-baik, Yang Mulia."

Si gadis mengalihkan pandangan, mata madunya kini menatap Ruin Guard yang berdiri di depannya. Tak lama kemudian, makhluk besar itu menurunkan tangannya. Sang puan bergaun putih pun duduk di telapak tangan raksasa tersebut dengan anak bersurai oranye di gendongan.

Getaran samar di bentala bersalju mengiringi kepergian mereka. Sang bayu yang berhembus kian kencang membuat perempuan itu mengeratkan pelukan pada anak di rengkuhannya.

"Aku tidak akan membiarkanmu kedinginan."

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦

Scroll to continue

𝐐𝐔𝐈𝐍𝐓𝐄𝐒𝐒𝐄𝐍𝐂𝐄 || 𝙲𝚑𝚒𝚕𝚞𝚖𝚒Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum