IV. Nightmare

164 16 1
                                    

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦

Malam itu terasa berlalu lebih cepat dari biasanya bagi Lumine. Ia tak menyangka bahwa bertukar cerita dengan Ajax akan mengikis waktu cukup banyak, menurut perasaannya.

Ajax dan Lumine saling bercerita tentang diri mereka masing-masing. Anak laki-laki itu bercerita tentang banyak hal― mulai dari keluarga, kampung halaman, cerita-cerita yang pernah didengarnya, dan lain-lain. Ia bahkan turut menuturkan kekagumannya pada keahlian seni berpedang Lumine dengan penuh keantusiasan.

Hal tersebut berbanding terbalik dengan Lumine. Gadis itu lebih banyak diam daripada berbicara, membiarkan Ajax mendominasi pembicaraan. Ia hanya akan membuka mulut tatkala anak lelaki itu menanyakan suatu pertanyaan― yang kebanyakan tentang seni berpedang― atau untuk sekedar menanggapi.

Ajax juga menanyakan tempat asal maupun keluarga Lumine, namun sang adiratna hanya memberikan respon 'itu rahasia' atau 'kau tidak perlu tahu'― yang mana membuat bocah berambut senja itu diam seketika dan mengalihkan topik.

Jujur, Lumine merasa sedikit bersalah atas respon setengah hati yang diberikannya pada Ajax. Hanya sedikit.

Sesi berbagi cerita mereka berakhir setelah Ajax mulai mengantuk. Usai memastikan anak itu tertidur pulas, Lumine membalutnya dengan selimut sebelum melenggang pergi.

Saat ini, Lumine tengah berbaring di kamarnya sendiri. Luas dan sunyi tanpa gangguan. Ia tak pernah menyesali keputusannya mengirim pasukan Abyss Mage untuk berbuat kekacauan di seluruh penjuru Teyvat. Karena dengan demikian, istana menjadi lebih senyap dan dirinya bisa merasa lebih tenang dalam memikirkan langkah rencana selanjutnya.

Lumine melentangkan tubuhnya, menatap langit-langit dengan lampu gantung yang tak memancarkan cahaya. Entah mengapa, kata-kata terakhir Ajax sebelum terlelap mengusik benaknya.

"Nona Skirk, aku mohon ajarilah aku cara bertarung. Aku ingin menjadi kuat dan bisa melindungi ayah, ibu, Tonia, Anthon, Teucer juga kampung halamanku. Aku ... mohon ..."

Sang adiratna bersurai emas pun memejamkan mata sembari menghela napas begitu kalimat tersebut kembali terputar di benaknya. Keinginan anak itu begitu naif dan tulus, terlalu indah untuk dunia nan kejam yang dibalut keindahan ini.

Lumine tidak sampai hati menghancurkan mimpi murni milik Ajax. Ia juga tak ingin anak malang itu mendapat 'permata terkutuk' dari para penghuni indraloka palsu yang tanpa hati menghancurkan sebuah negeri karena hanya merasa terancam. Membayangkannya saja sudah membuat hati Lumine mendidih.

Permata itu hanyalah alat untuk mengawasi para makhluk yang mendapatkannya, batin Lumine geram sambil meremas selimut yang membalut tubuhnya. Mereka akan diangkat lalu dikurung dalam istana mengapung itu jika dianggap sebagai ancaman. Sungguh tak berhati.

Lumine menghela napas, berusaha menenangkan diri tatkala amarah mulai menumpulkan akalnya. Setelah merasa batinnya tertata, ia pun mengubah posisi tidurnya menjadi miring ke kanan agar lebih nyaman.

𝐐𝐔𝐈𝐍𝐓𝐄𝐒𝐒𝐄𝐍𝐂𝐄 || 𝙲𝚑𝚒𝚕𝚞𝚖𝚒Where stories live. Discover now