V. Triwulan

147 14 0
                                    

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦

Suara pedang yang saling beradu menggema merdu di antara dinding ruangan, terang cahaya bulan membuat tempaan perak itu tampak berkilauan. Dua insan tengah bertarung, saling menghunuskan candrasa satu sama lain untuk meraih kemenangan.

Anak laki-laki berambut jingga itu terus menyerang dengan agresif. Tangannya dengan cepat melayangkan tebasan beruntun ke arah perempuan bersurai pirang yang menjadi lawannya. Ia tertawa dengan suara keras, senyuman lebar turut merekah menghiasi perangai. Anak itu― Ajax tampak sangat menikmati pertarungan tersebut.

Di sisi lain, sang gadis pirang― Lumine dapat menangkis semua serangan Ajax dengan mudah. Raut wajahnya tenang, namun gerakannya gesit layaknya rusa. Kedua tungkai berbalut sepatu boots putih itu dengan lincah melompat ke sana kemari untuk menghindari tebasan yang mengarah padanya, sebelum melesat ke arah lawan dengan kecepatan kilat.

Namun, Ajax tak kalah cepat. Anak laki-laki itu langsung menghadang serangan Lumine dengan pedangnya kemudian melompat mundur, berusaha membuat jarak dengan sang lawan.

Tatkala kakinya baru mendarat di atas tanah, Ajax tiba-tiba tumbang ke belakang. Bocah lelaki itu merintih tatkala merasakan rasa perih yang menyerang punggungnya, langit-langit di atasnya pun tampak buram. Ia tidak menyangka bahwa jatuh terbentur lantai bisa sesakit ini.

"Kau baik-baik saja?" tanya sebuah suara dengan nada tanpa emosi.

Ajax menoleh tatkala mendengar suara itu, mendapati Lumine yang tengah memandangnya dengan wajah tak berekspresi. Anak laki-laki itu pun bangkit dari posisi tidurnya dan mengangguk. "Saya baik-baik saja, Master," jawabnya dengan senyum manis.

Lumine berdeham singkat. "Syukurlah kalau begitu."

Gadis itu memejamkan mata lalu berkata, "Sampai di sini saja untuk hari ini."

"Eh? Sudah berakhir?" tanya Ajax dengan wajah murung yang dibalas anggukan singkat oleh Lumine.

Hal tersebut tentu membuat Ajax terheran-heran. Karena, latihan mereka hari ini sangat singkat, bahkan kurang dari setengah jam dari waktu latihan di hari-hari sebelumnya. Ia begitu menyayangkan hal itu.

Tatkala Lumine hendak beranjak pergi, Ajax kembali membuka mulut. "Tunggu sebentar, Master!" panggilnya.

Langkah Lumine berhenti, iris emasnya melirik sesosok anak laki-laki yang tengah bersimpuh penuh hormat. Wanita itu kembali memalingkan pandangan ke depan, lalu berkata, "Mengapa? Segera katakan keinginanmu."

"Aku ingin mendengar cerita lagi dan menghabiskan waktu bersama Master," lirih Ajax dengan nada penuh harap. "Lagipula, ini malam terakhirku di sini."

Yang dikatakannya memang benar. Mentor sekaligus penyelamat hidupnya itu telah memutuskan untuk memulangkannya pada esok hari. Hal tersebut tentu membuat Ajax senang. Karena akhirnya, ia akan bertemu keluarganya dan merasakan kehangatan pelukan mereka lagi.

Tetapi, perpisahan akan menjadi bayarannya. Ajax akan berpisah dengan Lumine― seseorang yang telah mengajarinya cara menggunakan semua senjata selama tiga bulan ini. Anak itu tak menginginkan hal tersebut. Namun mau bagaimana lagi, setiap pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan.

Kedua ambar biru Ajax masih terus menatap sosok berbalut gaun putih di hadapan, perempuan itu belum membalas tatapannya. Ruangan tetap senyap, seakan menunggu suara dari salah satu insan di dalamnya untuk berbicara.

"Baiklah," balas Lumine tanpa menoleh. "Ayo."

Sang puan pun melangkah menuju pintu dengan suara langkah kaki berirama yang mengiringi. Setelah terdiam sejenak, Ajax akhirnya berdeham dan mengangguk. Anak itu bangun dari posisi duduknya dan langsung menyusul sang guru, ia berjalan di belakang.

"Terima kasih banyak, Master Skirk!" ujarnya dengan nada senang. Lumine hanya mengangguk sebagai balasan.

※※※

" ... Pada akhirnya, sang kelinci menyadari bahwa seluruh perjalanannya menjelajah banyak hutan ajaib hanyalah kebohongan semata. Selama ini, ia hanya terjebak dalam kandang raksasa milik sang peternak. Setelah itu, sang kelinci tidak lagi menjelajah dan berubah peran menjadi pengacau yang merusak hutan-hutan buatan yang pernah ia lewati. Selesai."

Ajax berdecak kagum begitu Lumine selesai bercerita. Ia tak menyangka bahwa cerita yang awalnya sangat menakjubkan akan mempunyai akhir buruk bagi si pemeran utama. Dongeng yang sungguh memilukan, tapi sangat bagus dari cerita-cerita karangan yang pernah dibacanya.

"Aku tidak menyangka cerita ini akan berakhir seperti itu. Maksudku, petualangan-petualangan sang kelinci terasa sangat nyata!" seru Ajax menanggapi akhir cerita itu.

Lumine memalingkan pandangan ke arah langit-langit kamar, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Semuanya akan terasa nyata sebelum ia menyadari bahwa apa yang dialaminya hanyalah sebuah kepalsuan."

Ajax hanya diam, otaknya berusaha mencerna kalimat yang keluar dari mulut perempuan itu. Walau telah berpikir keras pun, ia sama sekali tak dapat memahami perkataan sang guru. Sebuah elusan di pucuk kepala membuyarkan lamunan. Anak bernetra biru itu menoleh, mendapati sang mentor yang tengah menatapnya dengan pandangan teduh daripada biasanya.

"Tidak perlu memikirkannya sekeras itu," katanya sambil terus mengusap kepala Ajax dengan lembut. "Lebih baik kau segera tidur sekarang, Ajax."

"Tapi, aku belum mengantuk," balas Ajax sambil menggembungkan pipi. Namun sedetik kemudian, kuap lolos dari bibir mungilnya― membuat ucapannya tadi menjadi tidak meyakinkan.

Lumine menghela napas, ekspresinya kembali datar. "Kau jelas-jelas mengantuk."

"Aku hanya menguap, Master," lirih Ajax dengan diakhiri kuapan, lagi.

Melihat hal tersebut, Lumine kembali menghela napas. Anak didiknya memang keras kepala.

"Ajax, tidur," titahnya dengan serius. Tatkala anak laki-laki itu hendak membuka mulut, ia langsung melanjutkan perkataannya, "Ini perintah."

Mendengar perintah mutlak dari masternya, Ajax langsung terdiam dengan wajah muram. Bocah Snezhnaya itu menghembuskan napas kesal, kemudian mengangguk pelan. Ia pun segera berbaring dengan posisi miring, perlahan menutup matanya.

"Selamat malam, Master ... Skirk ...," gumam Ajax sebelum menguap sekali lagi. Anak itu terlelap tak lama kemudian, menapaki mimpi yang hanya diketahui olehnya.

Mendengar dengkuran lembut yang lolos dari bibir Ajax membuat Lumine tersenyum tipis. Ia meletakan tangannya ke kepala anak yang telah terlelap di alam mimpi itu, memberikan elusan lembut.

"Selamat malam, kesatria kecil," bisiknya sambil memberi tepukan kecil ke pucuk kepala Ajax― yang mana membuat sang anak menggeram jengkel dalam tidurnya.

Lumine terkekeh pelan sebelum kembali tersenyum. Perempuan itu pun berbaring di sebelah Ajax dengan posisi terlentang, sepasang iris emas menatap langit-langit yang berada di atasnya sebelum menutup mata.

"Tampaknya, aku akan merasa sedikit kesepian setelah esok hari."

꒷꒦꒷‧˚₊‧꒦꒷꒦ ꒷꒦‧˚.⁺꒷꒦꒷‧˚꒦

Scroll to continue

𝐐𝐔𝐈𝐍𝐓𝐄𝐒𝐒𝐄𝐍𝐂𝐄 || 𝙲𝚑𝚒𝚕𝚞𝚖𝚒Where stories live. Discover now