[A] Adamant

5 1 11
                                    

"Loh, Veina? Udah sehat?"

Veina menggeleng lesu memandangi Azka. Cowok itu segera bangkit dan berdiri di depan Veina. "Kok udah masuk? Kenapa gak ijin aja?"

Tangannya terulur untuk menyentuh kening Veina. Masih panas, pikirnya. Wajah dan perangainya pun terlihat tak bersemangat.

"Gue gak mau dimarahin papa gue."

"Astaga, emang lo kuat belajar?"

Veina tersenyum meski Azka tahu itu hanya untuk membuatnya tenang, "Kuat, kok. Oh iya, makasih ya kemarin."

"...iya."

Veina lagi-lagi tersenyum simpul sebelum akhirnya berjalan ke arah bangkunya sendiri kemudian mendudukinya. Ia benar-benar terlihat sakit bagi Azka. Cowok itu kembali ke tempatnya dengan wajah khawatir sembari berjaga jikalau sahabatnya itu sampai pingsan di tengah kelas.

°o00o°

"Gue denger dari Azka, lo sakit ya?"

Veina mengangguk meski pemilik telepon di ujung sana tak bisa melihatnya. Ia menggoyangkan kakinya pelan di bawah kursi taman. Angin sejuk membelai wajah pucatnya.

"Mau makan apa? Gue nitip temen nih. Dia mau keluar sekolah buat servis mic."

"Gak usah, Rov. Gue gak nafsu makan," balas Veina pelan. Keringat dingin mengucur kembali dari pelipisnya.

Bisa gadis itu dengar, orang di seberang telepon tak menyetujui kalimatnya, "Gak gak! Lo harus makan."

"Gue gak pengen makan apa-apa. Gue agak mual liat nasi."

"Lo harus makan, Veina. Gapapa sedikit, asal ada nutrisi masuk di tubuh lo. Lo masih banyak kegiatan. Bahkan bukannya istirahat di rumah, lo malah nyempetin sekolah. Makan, hm? Dikit aja," bujuk Rovi. Sebenarnya sang lelaki juga sama sibuknya. Ia sedang mengatur ulang semua pendanaan dan proposal dalam laptopnya. Namun, ia tetap menyempatkan diri untuk mengecek sang pacar yang rupanya sekolah dalam keadaan sakit.

"Kalau bubur ayam, boleh?"

Rovi tersenyum samar. Ia menaruh ponselnya di atas meja kemudian memencet tombol speaker. "Ya bolehlah. Udah kalo gitu teleponnya gue tutup ya. Ada yang harus gue kerjain. Nanti makanannya diantar ke lo secepat mungkin. Jangan kecapekan. Kalo pusing, langsung ke UKS. Kalo ada apa-apa juga telepon gue. Kalo-"

"Iya, sayang. Lo lanjut ngerjain sana. Dah~"

Tut

Rovi memandangi ponselnya yang menampilkan profil wajah Veina. "Sayang dong," ucapnya sambil menahan tawa setengah salting.

Di lain sisi, Veina menunggu istirahat berakhir. Tak begitu lama setelah teleponnya dengan Rovi terputus, ia dihampiri oleh seorang lelaki tinggi yang ia kenal sebagai salah satu anggota OSIS.

"Nih, bubur lo."

Tangan Veina terulur untuk menerimanya. Ia menatap manik cowok itu dan berujar, "Makasih. Maaf ya ngerepotin."

"Gapapa kali. Gue balik ya. Lo cepet sembuh."

"Iya."

Veina masih terus memperhatikan punggung lebar itu sampai benar-benar hilang. Ia kemudian membuka kotak bubur itu. Pas sekali pelajaran setelah istirahat adalah sejarah, yang kebetulan gurunya telah berpesan untuk mengerjakan tugas. Suprisingly, tugas itu sudah disuruh sejak minggu lalu. Sepertinya guru itu tak sadar namun tak apa lah.

Sang gadis membuka tempat plastiknya kemudian menuang bubur yang semula ada dalam plastik putih. Ia juga membuka sebotol air putih yang diberi tadi. Untung saja, ia sempat membawa obat yang semalam dibelikan Azka. Mungkin dengan rajin meminumnya, ia akan cepat sembuh.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 02, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

[1] SAUDADE: DÉJÀ VUWhere stories live. Discover now