Dua Puluh Delapan

3.3K 414 28
                                    

---

"Mami,"

Panggilan kecil itu membuat dua wanita yang sedari tadi saling diam itu menoleh bersamaan. Sagara melangkah mendekat untuk menggamit dan merangkul Diana untuk beranjak dari sana.

"Raka butuh waktu sendiri, oma."

Diana mengangguk. Memeluk cucunya itu sesaat sebelum melangkah bersama Sagara meninggalkan Raka bersama wanita yang melahirkannya selama ini.

Dengan langkah penuh keraguan, Raka mendekat dan bersimpuh di hadapan Gina.

(Guys maaf ganggu, aku lupa nama mami nya Raka siapa. Jadi aku tulis Gina aja ya wkwk)

"I'm so sorry fot all the hurtful words I said before, Mom."

Air mata sudah siap turun dari kedua mata Gina. Wanita itu mengelus kepala anak semata wayangnya.

"I'm sorry that i left you all this time. Hanya karena hubungan papi dan mami tidak berjalan lancar, kamu yang harus menanggung ini semua."

Raka mengangkat wajahnya. Semua sakit hati yang ia rasakan selama ini membuncah hingga membuat dadanya sesak. Segala bentuk perasaan yang ia pendam muncul bersamaan. Perasaan benci datang bersama rindu yang ia tahan bertahun-tahun.

"Tahun-tahun itu sangat sulit. Satu-satunya pilihan yang mami punya hanya menitipkan kamu sama Opa dan Oma. Perceraian itu harus kami atur jika tidak ingin kamu terseret makin jauh, nak."

Raka tidak mengerti. Ia tidak paham semua ucapan Gina. Perceraian apa yang dimaksud oleh Gina.

"Seminggu sebelum ditangkap, papi sudah tahu bahwa ia akan menjadi sasaran empuk partai di tahun itu. Salah satu langkah yang bisa ia tempuh adalah menceraikan mami dengan hak asuh jatuh di tangan papi. Dengan begitu mami bisa lari dari semua penyelidikan dan kamu akan di rawat oleh Opa dengan baik. Dengan nyaman tanpa kurang satu apapun."

Raka sudah bersimpuh. Tangannya masih di genggam dengan lembut oleh Gina.

"Maaf mami baru datang bertahun-tahun kemudian. Maaf mami tidak ada disaat kamu butuh pelukan. Maaf mami tidak bisa menjadi ibu yang baik."

"Kenapa gak pernah ada yang bilang sama aku?"

Gina mulai menangis pelan. Semua kenangan buruk yang menimpa keluarga mereka berputar bagai mimpi buruk.

"Mami baru tahu kalo papi sakit setelah beberapa tahun di penjara. Papi minta untuk gak ngasih tau kamu, karena dengan begitu kamu tetap akan bisa melepaskan papi jika kemungkinan paling buruk terjadi,"

Raka menggeleng pelan. Air mata sudah tidak lagi ia tahan.

"Sampai dia matipun aku masih membenci papi yang paling aku banggain. Aku gak pernah jenguk dia. Aku bahkan gak mau diakui sebagai anaknya. Aku--"

Gina menurunkan tubuh. Ia meraih putra satu-satunya itu ke dalam pelukan.

"Maafkan kami, sayang. Maafkan kami."

Tangisan terdengar dari keduanya. Semua emosi yang ditahan Raka akhirnya lepas berbentuk rintihan. Dalam pelukan perempuan yang paling ia sayang, cowok itu menjatuhkan semua benteng pertahanannya.

Semua perasaan yang selama ini menjeratnya dibiarkan mengalir tanpa beban. Tidak ada lagi Raka yang angkuh, tidak ada lagi Raka yang tangguh. Yang ada sekarang hanyalah Raka yang rapuh.

Dari pintu taman belakang, Sagara mengusap air di sudut matanya. Sedangkan Diana tengah menangis di pelukan suaminya, Tarendra.

---

"Temenan sama Kirana, udah. Maafin Lika, udah. Baikan sama nyokap, udah."

Raka menoleh. Ia baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan diri ketika mendengarkan Sagara bergumam pelan sembari memainkan ponsel. Laki-laki itu seperti tengah mengecek jadwalnya.

Musim Yang Baik [FIN]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt