Bab. 7 : Luka Batin Seorang Anak Laki-laki

8 1 0
                                    

Suatu kejadian yang tidak akan mungkin bisa terlupakan. Rasa malu itu masih ada bahkan hingga kejadian pada siang hari itu sudah berlalu. Entah bagaimana saya harus bersikap pada teman-teman saya yang telah menerima saya? Apakah mungkin setelah kejadian kemarin, mereka akan berubah sikap? Demikian pun saya tidak habis pikir dengan bapak. Padahal saya seharusnya bisa berteman dengan siapa saja, tetapi kenapa seakan banyak sekali larangan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki?

           Bapak sama sekali tidak pernah tahu bagaimana menderitanya diri saya ketika saya tidak memiliki satu seorang teman pun. Teman laki-laki. Saya tidak memilikinya. Tidak ada satupun anak laki-laki yang mau berteman dengan saya. Hanya anak perempuanlah yang selalu menerima diri saya. Dan mereka mau berteman dengan saya, menerima diri saya apa adanya, tanpa menuntut saya untuk harus seperti apa yang mereka inginkan.

           “Ginting,” panggil suara dari seseorang yang saya kenali.

           Saya dihampiri oleh teman-teman saya rupanya. Saya pikir, mereka tidak akan menemukan keberadaan saya yang tengah duduk di belakang sekolah seorang diri.

           “Ayu? Anita? Kalian ke sini?” tanya saya, lantas saat melihat mereka, saya langsung berdiri.

           “Iya, kami cari-cari kau, ternyata kau ada di sini,” ujar Susan.

           “Kau ngapain duduk sendirian di bawah pohon gini? Tak takut apa kesambet sama pengh-”

           “Sst!” Sinta menyela ucapan Bom-bom. Telunjuknya ia tempelkan pada bibirnya. “Kata ibuku, jangan suka bicara sembarangan,” peringatnya. Seketika aura mistis tiba-tiba terasa. Bulu kuduk kami sama-sama pada berdiri, padahal tadinya saya baik-baik saja.

           Melupakan sejenak hal tadi, saya tersenyum tipis. Lega, itulah yang saya rasakan sewaktu teman-teman saya nyatanya mencari keberadaan saya.

           “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin sendirian saja.”

           “Kenapa harus sendirian seperti tidak punya teman saja kau ini Ting?” seru Anita, terlihat kesal. “Kau itu punya teman. Jadi jangan bersikap seperti tidak punya teman. Jangan pernah merasa sendirian,” ujar Anita, tegas. Seakan yang paling bisa menggambarkan perasaan saya, benar adalah fakta yang telah disampaikan oleh Anita. Rasa sendirian dan kesepian telah menghantui diri saya bila saya tidak bersama dengan mereka.

           “Aku merasa tak enaklah pada kalian. Kemarin bapakku marah-marahin kalian. Aku pikir, kalian sudah tidak maulah berteman dengan aku ini,” ungkap saya, tertunduk lesu.

           “Kau ini bicara apa pula? Mana adalah kami marah dengan kau. Kita ini tetap teman, kau tau itu,” seru Susan.

           “Benar Gin, kamu gak usah mikir yang tidak-tidak. Mendingan kita bermain saja mumpung masih jam istirahat,” ajak Ayu. Dan disetujui oleh teman-teman lainnya. Yang lain sudah ingin berpindah tempat, namun Anita menghentikan dengan bertanya, “eh, bentar, tapi kita mau main apa dulu?”

           “Lompat karet!” jawab Sinta riang.

           “Ish, kenapa pula lompat karet Sin. Kau tengoklah badanku ini. Besar dan bulat macam bentukan bakso. Mana kuatlah aku lompat-lompat macam kalian,” keluh dari Bom-bom. Ekspresi merajuknya lucu sekali. Saya tertawa melihatnya.

Laki-laki Juga Manusia Where stories live. Discover now