BAB 1 ( Prolog ) - Dua Kisah Tentang Seorang Ayah

8 2 0
                                    

Bella meletakkan sajian makanan terakhir di meja, pagi-pagi sekali ia bangun untuk memasakkan makanan kesukaan Ayahnya yang hari ini berulang tahun. Bella tersenyum melihat semua sajian makanan yang dibuatnya telah selesai.

"Ayah!" kebetulan sekali Ayahnya baru saja keluar dari kamar, sudah rapi dengan setelan kerjanya.

Ayah hanya menoleh sekilas sebelum kembali mengabaikannya. Tentu saja. Bella sudah tahu jika respon beliau akan demikian. Tak peduli dan tak pernah ingin peduli.

Namun tetap saja Bella dengan sifat pantang menyerahnya, "Ayah!" Bella berlari menghampiri Ayahnya, "Aku sudah memasak banyak makanan untuk Ayah, jadi ayo kita makan bersama." Bella menggandeng tangan sang Ayah agar duduk di meja makan.

Namun Ayah menepis tangannya kencang, "Aku tak menyuruhmu untuk memasak, makanlah sendiri!" ujarnya ketus.

"Tapi sekarang hari ulang tahun Ayah. Maka dari itu aku-"

"Siapa yang peduli dengan pertambahan usia ketika seseorang yang kucintai telah tiada?" sela Ayah.

Dan Bella seketika dibuat bungkam.

"Berhenti menggangguku! Kau hanya membuatku semakin muak dengan rasa kehilangan!" Ayah menunjuk wajah Bella dengan raut marahnya, "Wajahmu. Wajahmu itu, bisakah kau tak menunjukkannya beberapa waktu saja di hadapanku?" setelah berkata demikian, Ayah keluar rumah dengan membanting kencang pintu, membuat Bella terperanjat.

Bella bergeming di tempat bersama lelehan air mata yang mulai basahi pipinya, ia meraba dadanya yang sesak, melirik semua sajian makanan yang ia masak sepenuh hati berakhir sia-sia.

Namun tak lama ia segera menarik diri dari rasa sakit dan menghapus air matanya, Bella tak ingin berlama-lama larut dalam sedih akibat luka yang sama. Bella sudah delapan belas tahun tinggal bersama Ayahnya, seharusnya ia lebih dari sekedar tahan terhadap sorot kebencian sang Ayah terhadapnya.

"Bukan keinginanku jika wajah ini sangat mirip dengan Ibu!" dan meski Bella tahu, bersikap baik pada Ayah atau berusaha menarik perhatiannya hanya akan berakhir membuat Bella marah. Marah pada dirinya sendiri. Bella tetap saja melakukannya.

Berdiam diri di dalam rumah hanya akan membuatnya merasa semakin buruk.

Bella keluar dari rumah, berlari menuju suatu tempat di mana seseorang yang menyebabkan dirinya dibenci sang Ayah berada. Pelariannya begitu kencang melewati aspal basah bekas hujan semalam, mengabaikan berbagai tatapan bingung orang-orang yang berpapasan dengannya ketika melihat Bella yang berlari penuh kemarahan.

Nafasnya terengah ketika sampai di sana, langkahnya memelan menghampiri pusara Ibunya. Bella duduk di samping makam tersebut, menatap lamat-lamat potret hitam putih seorang wanita yang sangat mirip dirinya di batu nisan yang tengah tersenyum bahagia, potret sang Ibu ketika masih remaja seusianya dengan mengenakan seragam Sekolah Menengah Atasnya.

"Apa Ibu bahagia di sana?" untuk kesekian kalinya Bella bertanya hal yang sama. Setiap ia merasa begitu terluka, maka pusara Ibunya menjadi tempat yang selalu ia datangi. Berdiam di sana selama yang ia ingin, hingga lukanya sedikit pudar dan tak begitu menyakitkan.

Hampir setiap hari Bella pergi ke makam Ibunya, bahkan pengurus makam di sana saja sampai mengenalnya. Setiap hari yang Bella lakukan di sana hanya merenung, terkadang juga mengajak Ibunya berbincang mengenai kesehariannya maupun sikap Ayah yang semakin hari semakin terlihat muak dengan keberadaan Bella.

Itu karena, "Kenapa Ibu harus meninggal setelah melahirkanku? Mungkin Ayah takkan sebenci itu padaku ..." Ibunya meninggal tepat setelah melahirkan Bella ke dunia, alasan kenapa Ayahnya begitu membenci keberadaannya, Ayah beranggapan jika Bella adalah penyebab kepergian istri tercintanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 16, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bella As Isabelle (Remake)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang