| CHAPTER 4 | DIPERMALUKAN

12.2K 2.9K 390
                                    

Absen dulu sini.

Kalian askot mana?

Baca ini jam berapa dan lagi ngapain?

Jangan lupa vote dan komennya, ya...

Selamat membaca!

---000---


Sudah tiga hari Maratungga menempati rumah barunya. Sama seperti ketika di rumahnya dulu, saat ini pun ia duduk di teras dengan cat air, kuas serta kanvas. Pemandangan di rumah barunya lebih menyegarkan dibandingkan dengan rumahnya yang dulu.

Rumahnya saat ini dekat dengan pantai. Kapan pun ia mau, ia bisa melangkah menapaki pasir pantai untuk menikmati hembusan angin atau sekedar merasakan deburan ombak kecil di kakinya.

Maratungga tidak bisa hidup tanpa melukis. Baginya melukis bukan hanya untuk menghasilkan rupiah, namun juga sebuah healing. Melukis sudah menjadi bagian hidup Maratungga yang tidak bisa dipisahkan. Maratungga tidak punya apa-apa yang bisa ia banggakan, kecuali melukis.

Maratungga tidak pintar, ia tidak seperti Cakrawala yang cerdas dan selalu menjadi juara kelas hingga bisa mendapatkan beasiswa. Dulu di sekolah, Maratungga terkenal sebagai murid yang bodoh, dan ketika ia SD ia pernah satu kali tidak naik kelas. Teman-temannya selalu mengejeknya, bahkan sahabat terdekatnya˗Malbi˗juga mengejeknya.

Tok tok tok

"Bang Mara, Cakra masuk ya..."

Cakrawala mengintip ke sela pintu kamar Maratungga yang tidak ditutup dengan rapat. Ia tidak mendapati abangnya di dalam sana, ia pun melangkah masuk. Maratungga sedang keluar, bermain dengan Malbi.

Pandangan Cakrawala berhenti pada buku tugas milik Maratungga yang terbuka di meja belajar. Ia melihat Maratungga punya tugas matematika, namun semuanya masih belum dikerjakan, bahkan satu soal pun belum diselesaikan. Cakrawala juga melihat sebuah buku tulis yang dicorat-coret Maratungga dengan gambar-gambar. Coretan Maratungga itu menunjukan bahwa ia frustasi, ia menyerah.

"Susah! Argh! Matematika anjing!"

Cakrawala tersenyum, ia lantas duduk di kursi belajar milik Maratungga. Ia mulai mengerjakan soal matematika milik sang abang. Ia tahu bahwa abangnya itu sangat lemah dalam pelajaran, apalagi kalau pelajaran matematika. Sedangkan dirinya malah sanga menyukai pelajaran matematika, tapi kalau Cakrawala disuruh menggambar atau melukis, ia pun tidak bisa.

Cakrawala dan Maratungga, dua anak laki-laki ini jauh dari kata sempurna. Namun dari ketidak sempurnaan itu membuat mereka saling melengkapi. Meskipun Cakrawala dan Maratungga tidak pernah akur, atau lebih tepatnya Maratungga terkesan tidak menyukai Cakrawala, tapi sebenarnya mereka sama-sama saling membutuhkan.

Lima soal matematika milik Maratungga hampir Cakrawala selesaikan sepenuhnya. Cakrawala sama sekali tidak terlihat kesulitan padahal soal yang saat ini ia kerjakan adalah soal milik anak SMA sedangkan dirinya masih SMP.

Model soal-soal matematika milik Maratungga tidak berbeda jauh seperti soal olimpiade yang pernah Cakrawala kerjakan. Tidak heran jika Cakrawala bisa menyelesaikannya tanpa kesulitan.

Cakrawala tersenyum ketika akhirnya semua soal matematika itu berhasil ia selesaikan. Ia tidak tega melihat Maratungga sampai frustasi hanya karena soal matematika.

Pesan Terakhir Cakra ; Coretan MaratunggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang