Part 10: "Turning Point"

3.1K 164 6
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dan aku sama sekali belum merasa ngantuk. Ya, akhir-akhir ini aku terserang isomnia. Nyebelin banget nggak, sih? Apalagi besok aku harus sekolah. HuftNju..

Aku mencoba memejamkan mata, mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Tapi setelah beberapa kali berusaha dan terus gagal untuk tidur, akhirnya aku menyerah. Aku pun menelentangkan tubuhku, menatap langit-langit. Pikiranku melayang. Aku melamun, berpikir.

Sejak dapet advice yang super sekali dari kang bajay, aku selalu memikirkan tentang mereka. Tentang apa yang harus aku lakuin. Tentang mana yang harus kupilih. Apakah Ghaida yang walau sudah berkali-kali kupaksakan diriku untuk mencintainya tapi tetap saja gagal, atau Boby, sesosok yang hanya dengan senyumannya bisa membuatku tidak berkutik. Tapi, jika aku milih Boby, emang dia milih aku gitu? Haha.

Tapi tidak ada salahnya untuk mencoba, bukan? Jika dia memang tidak menyukaiku, lihat dari sisi baiknya. Aku tidak perlu berpura-pura menjadi pacar yang baik untuk Ghaida, dan Ghaida tidak perlu tersakiti olehku seperti ini. Well, mungkin dia memang akan tetap terluka. Tapi, sebuah kejujuran yang pahit lebih baik daripada sebuah kebohongan yang manis, bukan? Katanya.

Aku memaksakan diriku tidur lagi. Aku sudah memutuskan semuanya. Untuk rasa sakit, kecewa, terluka, itu urusan terakhir.

Ya Tuhan, kumohon beri aku kekuatan untuk mengatakannya besok..

****************

Aku menghembuskan nafas berkali-kali. Kelas sudah sepi dari para penghuninya. Maklum, bel pulang juga sudah berbunyi sejak tadi.

Aku masih duduk di bangkuku dalam diam. Rencananya, hari ini aku akan mengatakan hal itu ke Ghaida. Tapi... Entahlah. Sepertinya itu tidak akan mudah.

Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang membuatku terkejut. Aku menoleh mendapati seorang gadis cantik yang sangat dekat denganku sedang memandangiku heran. Nabilah.

"Lo yakin mau bilang itu ke dia sekarang?" Aku menghela nafas lalu mengangguk mengiyakan.

"Good luck, deh. Gue dukung apapun keputusan lo. Semoga ini yang terbaik buat kalian." Ucap Nabilah sambil tersenyum tulus kepadaku.

Nabilah berjalan keluar kelas. Aku hanya memandanginya dalam diam. Ketika hampir sampai pintu tiba-tiba ia berbalik lalu tersenyum jahil kepadaku.

"Oh, iya. Nanti sore gue sama anak-anak mau main ke rumah lo. Jan lupa siapin mam yang banyak, ya. Eh, satu lagi! Cerita-cerita, ye, Nju..." Ucap Nabilah lalu langsung ngacir keluar kelas. Aku hanya menghela nafas. Huh, dasar kang bajay..

Aku pun berdiri, berjalan keluar kelas. Entah beruntung atau malah sial, aku berpapasan dengan cowok itu. Ghaida. Dia tersenyum ramah ke arahku laku merangkul bahuku.

"Yuk! Pulang!" Ucapnya semangat. Aku menghela nafas lalu menyingkirkan lengannya dari bahuku. Dia menatapku bingung.

"Ghai, maaf. Tapi, mulai sekarang kamu nggak usah nganter-jemput aku lagi, ya.."

"Kenapa, Shan?"

Aku memejamkan mataku. Menarik nafas perlahan.

Tuhan, tolong...

"Sepertinya kita sampai disini aja." Seperti disambar petir di siang bolong. Wajah Ghaida terlihat begitu terkejut. Matanya membulat. Mulutnya menganga.

"K-kenapa?"

"Maaf, aku.. Aku nggak bisa. Kamu berhak dapet yang lebih baik daripada aku.."

Hening. Hanya terdengar hembusan angin yang masuk melalui celah jendela koridor. Aku menunduk, tidak berani menatap wajah Ghaida. Ghaida masih terdiam. Aku cukup mengerti jika dia kecewa bahkan marah kepadaku. Namun, jika dia diam seperti ini malah membuatku merasa sangat canggung.

Futari Nori No JitenshaWhere stories live. Discover now