"Hm ... oke." Rere mengangguk-angguk kecil. "Terus?"

"Masa gue perlu jelasin lebih detail sih? Gue yakin lo udah paham arahnya ke mana." Rara memasang seringai licik.

Rere mendesah pendek. "Terlalu kelihatan setting-annya. Gue nggak pernah menjalin hubungan spesial dengan siapapun, terus tiba-tiba punya pacar pas lagi dijodohin. Siapapun pasti curigalah, apalagi Mama yang tahu keseharian gue."

"Yaelah, belum juga dicobain, udah pesimis aja. Justru karena itu lo harus totalitas. Makanya, lo harus cari yang ganteng, tajir, pinter, husband material bangetlah pokoknya."

Rere sedikit melebarkan matanya. "Pacar bohongan doang kriterianya sebanyak itu? Gila."

"Ya harus dong. Justru karena bohongan itu lo harus cari cowok yang meyakinkan. Yakali mau asal comot?" timpal Rara tanpa ragu. "And who knows, dia bakal jadi soulmate lo beneran suatu saat. Kan enak tuh, sekali nembak dapet dua burung," imbuhnya dengan senyum penuh arti.

Rere tertawa. "Astaga, lo habis nonton drama India apa sih? Halunya tinggi banget sampai menembus awan."

Rara pun ikut tertawa. "Itu namanya mengantisipasi masa depan, bukan halu. Malahan, gue bakal seneng banget kalau sohib sepergoblokan gue akhirnya menemukan cinta sejati. Nggak ada yang bisa nebak kan jodoh kita bakal datang dari mana?" katanya ringan tanpa beban.

"Iyain aja dah." Rere menghela napas sejenak lalu berujar, "Sekarang pertanyaannya, di mana gue harus mencari Mr. Perfect itu? Kalaupun gue nemu, belum tentu dia mau terlibat dalam urusan beginian."

Rara mengerjapkan matanya sekali, sedikit heran mendengar pertanyaan Rere barusan. "Lho? Bukannya di tempat kerja lo ada banyak ya? Si Daniel tuh misalnya. Dia perhatian dan selalu bantuin lo, kan? Atau nggak, si Billy juga oke tuh. Kan kalian lumayan deket tuh, bisalah lo minta tolong ke dia."

"Heh, ngawur. Billy udah punya bini. Bisa dibakar hidup-hidup gue kalau nekat macarin suami orang," tegur Rere dengan intonasi yang sedikit meninggi.

"Oh ya? Malah lebih bagus dong. Banyak yang bilang suami orang itu lebih menggoda. Lebih menantang." Rara memyeringai nakal seraya menaikturunkan alisnya seperti wanita player yang menemukan mangsanya.

"Pala lo lebih menantang. Bisa-bisanya lo malah ngajarin gue jadi pelakor. Sesat lo," ujar Rere gemas dengan mata melotot tajam, sementara Rara hanya tertawa tanpa beban. Ingin rasanya Rere menoyor kepala sahabatnya yang sontoloyo itu. Kalau saja dia tidak ingat bahwa mereka sedang berada di tempat umum, sudah pasti dia melakukannya sekarang.

"Lo kalau kesel tambah manis deh. Coba kalau gue cowok, udah pasti lo jadi pacar gue sekarang."

Spontan Rere mengernyit geli. "Dih, pede amat. Emang gue mau gitu sama lo?"

"Why not? Gue punya semua hal dari pacar idaman. Tampang oke, style juga keren, job apalagi, dan pastinya gue bakal selalu bikin lo bahagia. Gue yakin Mama Yuli pasti bangga punya calon menantu paket komplit kayak gue," ucap Rara penuh percaya diri lalu mengibaskan rambut merahnya seolah memamerkan dirinya yang luar biasa.

Rere meringis. "Iyuh, amit-amit. Dasar narsis."

Mereka tertawa bersama. Rasanya sudah lama sekali mereka tidak mengobrol empat mata serileks ini. Tatapan Rara lalu tertuju pada seorang pria berkacamata tebal yang duduk di pojok ruangan. Sekilas tidak ada yang salah dengan dirinya. Akan tetapi, bila diperhatikan lebih lama ternyata pria itu diam-diam mencuri pandang ke arah Rere. Kedua pipinya pun merona. Sebenarnya, bukan hanya pria itu saja yang menunjukkan ketertarikannya terhadap Rere. Hampir semua pria di kafe ini, termasuk mas-mas kasir di ujung sana terpana akan kecantikannya.

Mother, I Don't Want To Get Married! [EDIT ON PROCESS]Where stories live. Discover now