"Kenapa kamu tiba-tiba ngomong gitu, Nay? Aku sama Bima baik-baik aja kok, gak usah khawatir. Sekarang emang lagi sedikit kurang enak aja, tapi actually enggak kenapa-kenapa kok." kataku seraya tersenyum, namun hatiku tiba-tiba merasa gelisah melihat air mata Nayla yang menitik.

"Nayla, ada apa? Kenapa nangis?"

"Ra, kalo gw jujur sama lo sekarang. Lo janji mau ngelakuin semua yang gw minta?"

Aku bergeming, hatiku gelisah. Aku tidak tahu apa yang mau Nayla sampaikan, aku takut untuk bilang 'iya'.

"Ada apa ini?"

***

POV Bima

Rahasia yang belum menitik
Masih bersembunyi di balik detik
Meratapi diri di bawah rintik
Entah kapan menemui titik.

Siang yang bertemankan pada rencana, selalu mengundang asa dengan segudang rasa. Aku bertanya pada diriku, mungkinkah aku dikutuk oleh masa karena menghadirkan kegaduhan oleh sebab kepengecutan? Hari demi hari, waktu yang berlalu bagai menunggu bara yang entah kapan akan dingin, angin terus saja bertiup kencang yang membuat api semakin membesar. Bagaimana bisa membungkus bara jika api tak kunjung padam? Bagaimana bisa membawa cinta jika benci tak kunjung pergi?

"Ton, titip rumah ya." ujarku kepada Toni yang sedang asik bermain game di gawainya.

"Mau kemana lo?"

"Ke rumah ibu, udah lama gak kesana, kalau lo mau minep dirumah gw gpp. Soalnya gw mau disana sekitar tiga, empat harianlah."

"Ibu lo sakit?"

"Enggak. Tapi entah kenapa gw kangen banget, kasian juga ibu udah lama rumahnya sepi, jadi gw mau nemenin ibu dulu dirumah."

"Ok! Tenang aja, rumah aman."

"Gak akan lo jual kan?"

"Enggak, palingan perabot lo aja yang gw gade."

"Tobat lo, kiamat udah deket."

"Gak usah sok tahu, udah sana berangkat."

"Jangan bawa janda! Gw gak mau rumah gw digrebak warga."

"Iya, bacot! Lo kira gw gak haus belaian."

Aku terbahak, "Yaudah, assalammu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Aku memacu mobil dengan tenang, memerhatikan jalanan yang lengang dan otakku memutar sebuah kenangan. Dulu ayah berkata, terkadang tanpa sadar, kita melukai orang-orang yang telah kita jaga sepenuh hati. Karena setiap kita, suka lupa dan luput dengan janji yang pernah kita buat sendiri. Ironisnya, kita yang telah melukai tetapi seakan kita yang terlukai. Kita yang telah memberi getir kepada hidup orang lain, tetapi seakan kita yang tersambar petir dari masalah yang kita cipta sendiri. Karena setiap kita, paling susah menyadari kesalahan sendiri. Beruntunglah kita, jika ia tidak meninggalkan, walau sebenarnya ia telah terluka parah karena kita. Beruntunglah kita, jika masih ada ia yang mau bertahan, walau amarah yang ia letupkan terasa masih tertahan. Maka, sudah seharusnya kita belajar introspeksi diri, agar luka yang tercipta tidak terus mengurai laiknya aljabar yang semakin sulit disederhanakan.

Aku tersadar, sudah waktunya untuk menjelaskan semuanya. Ayah benar, jika aku terus menunda maka luka yang tercipta akan terus mengurai dan akan sulit disembuhkan. Aku telah banyak bersalah kepada Naira karena terus-terusan mengubur kejelasan yang seharusnya ia dapatkan. Aku sangat egois untuk merasakan bahagia bersamanya tanpa memikirkan lukanya yang semakin hari semakin menganga. Hari-harinya bersamaku, hanya membuatnya hancur secara perlahan.

BARA [END]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon