Doughall seperti mengetahui rasa malu yang kurasakan, memelukku. Memberikan kecupan di keningku sebelum berbisik, "Kau cantik, B."

Perkataan itu tidak sepenuhnya menghapus rasa malu yang kurasakan. Namun memberikan banyak rasa nyaman hingga aku tidak merasa begitu canggung lagi. Aku pun balik mencium Doughall, bukan di kening seperti yang ia lakukan. Melainkan bibir. Seperti menyambung kembali ciuman kami yang terputus dikarenakan Doughall melepaskan gaun yang kukenakan.

Di antara ciuman kami, aku sanyup mendengar gemeresik yang diciptakan oleh pakaian menjadi suara latar. Aku tidak begitu memedulikan hal itu. Hanya mengetahui, kini bagian atas tubuhku pada kulitnya yang tidak tertutupi bersapaan langsung dengan hangat kulit Doughall.

Aku yang begitu tenggelam dalam ciuman, merasakan sebuah guncangan hebat. Semula, aku berpikir, bahwa yang kurasakan tidaklah lebih dari kondisi psikologi yang bereaksi atas apa yang terjadi. Namun saat aku merasa tubuhku terangkat, aku tahu hal tersebut bukanlah khayalan yang diciptakan oleh otakku semata. Dengan refleks aku segera berpegangan pada apa yang berada di dekatku, dan kebetulan hal itu adalah bahu Doughall.

Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa segala hal yang sebelumnya kurasakan dikarenakan Doughall mengangkat tubuhku dan menggendongku berjalan menuju tempat tidur yang berjarak beberapa langkah dari tempat kami semula berdiri.

Saat Doughall telah mencapai tepi tempat tidur, dengan lembut ia menurunkan tubuhku dan meletakanku dengan lembut di tengahnya. Pada saat itu aku menyadari apa yang membuatku mendengar suara gemerisik semula dan alasan kenapa aku merasakan sentuhan hangat di bagian atas tubuhku. Semuanya disebabkan oleh Doughall yang telah menanggalkan jas serta kemejanya, bertelanjang dada dan celana panjang yang mana pengaitnya sudah terbuka.

Aku merasa serangan panas untuk yang kedua kalinya dikarenakan melihat bagaimana penampilan Doughall, yang seperti keluar dari halaman tengah sebuah majalah yang mana artikelnya membahas tentang pria pejantan atau dewa seks. Refleks aku menundukkan wajahku, untuk menghentikan yang aku tahu pasti, ekspresi bodoh menganga karena apa yang aku lihat.

Tapi, sepertinya reaksiku itu diartikan lain oleh Doughall yang kini tengah mengikutiku naik ke atas tempat tidur. Doughall yang semula berada di atasku, menepikan diri ke sisi. Meraih tanganku dengan satu tangan dan menggengamnya erat namun tetap lembut. Sementara tangan Doughall yang lain, mengangkat daguku, hingga mataku bertatapan langsung dengannya.

"B, jika kau masih ragu, kita dapat menghentikannya sampai sini," kata Doughall.

Hal itu membuatku terperanjat dan dengan segera membuka mulut untuk menampik apa yang dikatakan Doughall.

"Ah, i-i-iya, ah, maksudku tidak." Sayangnya dikarenakan kepanikan sesaat, aku hanya dapat menghasilkan kata yang sama sekali tidak dapat menjelaskan maksudku dengan baik. Aku menghela napas beberapa saat untuk menenangkan diri, untungnya usaha tersebut berhasil dan membuatku akhirnya dapat dengan jelas mengutarankan maksudku.

"Aku sama sekali tidak ragu, D," kataku meyakinkan, dan dengan sedikit malu menambahkan, "reaksiku sebelumnya dikarenakan aku baru untuk pertama kali melihat seorang pria telanjang."

Mungkin aku harus menjelaskan lebih lanjut. Aku memang mengatakan 'pertama kali pria telanjang', tapi bukan berarti aku sama sekali tidak pernah melihatnya. Karena tanpa bisa dihindari, kadang aku melihat pria dalam keadaan berpakaian minim, seperti di majalah, film, ataupun pantai. Perkataan itu, membahas mengenai hal yang lebih spesifik lagi, dan tidak mungkin kukatakan secara langsung karena kalimatku sebelumnya saja sudah cukup memalukan.

Kata 'pertama kali melihat seorang pria telanjang' merujuk pada pria yang secara langsung kulihat menanggalkan pakaian yang ia kenakan untuk berhubungan intim denganku. Oleh itu meski melihat pria bertelanjang dada bukanlah hal baru, melihat kondisi Doughall saat ini dapat memacu jantungku ke kecepatan yang tertinggi.

Doughall, sama biasanya, seperti mengetahui dengan jelas maksud perkataanku. Dan hal itu membuatnya mengeluarkan gelak tawa yang renyah. Ia pun memposisikan dirinya kembali di atasku, memberikanku sebuah ciuman di pipi diikuti oleh ucapan, "Jika kamu nanti kamu merasa ragu atau ingin berhenti, jangan ragu untuk mengatakannya padaku, B. Aku berjanji akan menghargai keputusanmu."

Aku hanya mengangguk untuk merespons. Sebelum akhirnya kedua tanganku kembali mengalungi leher Doughall dan menarik pria itu ke arahku untuk memberikan sebuah ciuman yang merupakan sebuah permulaan.

Blackmail - Ninth Threat | 15 Desember 2021

___

Bagian ini saya dedikasikan alice_cross untuk atas komentarnya:

Terima kasih atas semua dukungan kalian yang membaca cerita saya, baik berkomentar, vote, follow, memasukan cerita ini ke daftar bacaan, bahkan men-shared-nya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terima kasih atas semua dukungan kalian yang membaca cerita saya, baik berkomentar, vote, follow, memasukan cerita ini ke daftar bacaan, bahkan men-shared-nya.

Maaf karena saya tidak dapat mengucapkan rasa terima kasih satu per satu atas semua itu, juga tidak membalas komentar-komentar tersebut secara personal. Tapi saya membaca semuanya (baik komentar ataupun pemberitahuan) dan sangat berterima kasih atas dukungan-dukungan tersebut.

Ayo kirimkan komentar menarik kalian pada bagian ini, agar pada berikutnya cerita didedikasikan untukmu. Jangan lupa untuk men-follow atau vote untuk mendukung terus cerita ini.

Peluk dan cium dari saya untuk kalian semua,
Carramella

BlackmailWhere stories live. Discover now