Fourth Threat

4.5K 296 15
                                    

Seketika, aku siapa orang yang bertanggung jawab atas bingkisan yang saat ini kupegang. Kesadaran itu seakan merampas semua kekuatan yang ada dalam diriku, hingga kini tubuhku terasa berat dan lemas.

Mengingat akan kemungkinan bahwa bingkisan yang ditujukan padaku langsung diantarkan tanpa adanya campur tangan dari pihak ketiga ... aku merasa sebuah guncangan hebat datang menyerangku. Entah dikarenakan oleh fenomena alam atau dikarenakan getaran hebat menjalar di sekujur tubuhku disebabkan oleh rasa takut, aku tidak tahu. Hanya merasa limbung mengecam tubuhku yang memang dalam keadaan lemas saat tahu siapa yang mengirimkan hadiah kejutan di pagi ini.

Dengan napas yang tertahan, aku mencoba untuk menolehkan kepala ke beberapa arah. Untuk memeriksa apakah pengirim bingkisan yang saat ini kupegang masih dalam jangkauan yang terlihat oleh mataku. Namun pada jalan ataupun tempat-tempat di mana pandanganku jatuh, aku tidak melihat seorang pun.

Aku diam, mencoba menenangkan diri dengan mengambil napas yang semula tertahan. Usahaku hanya menghasilkan napas pendek yang tersengal, namun cukup untuk mendorongku berlari kembali ke dalam rumah, menutup pintu di belakangku dan menguncinya erat-erat. Adrenalin yang semula terpacu, hilang tanpa jejak saat aku berhasil mengamankan diri, membuatku terduduk gemetar di balik pintu.

Kenapa bisa 'dia' tahu?

Bodoh memang mempertanyakan hal itu jika dipikir. Tentu saja ia tahu. Jika penerorku dapat mengetahui nomor ponsel baruku, mudah baginya untuk melacak di mana aku tinggal. Lebih lagi dengan fakta bahwa ia berhasil merentas tidak hanya nomor telepon lamaku, tapi juga merentas akun yang kugunakan, yang mana di sana terdapat informasi pribadi dan sensitif.

Sedikit banyak aku terkejut akan kenyataan bahwa penerorku sama sekali tidak melakukan suatu hal yang merugikanku secara finansial. Dengan segala informasi yang ia miliki, ia dapat membuatku membayar setumpuk hutang yang aku tidak tahu digunakan untuk apa atau memakai identitasku untuk melakukan tindak kriminalitas yang membuatku berurusan dengan aparat hukum.

Hal itu membuatku kembali dihadapkan oleh pertanyaan, apakah situasi saat ini membuatku merasa beruntung dan bersyukur? Karena tidak diposisikan pada situasi bisa menjadi jauh lebih buruk dari ini. Tapi jika aku merasa demikian, ada sebagian dirinya yang merasa terhina. Menganggap perasaan beruntung tersebut tidak lebih dari penghinaan yang dilempar langsung ke arah muka dan mengecilkan pengalaman akan ketakutan terhadap teror yang kuhadapi.

Untuk terakhir, aku tidak bisa mengatakan bahwa hal itu mempengaruhiku dengan hebat. Sebab di bawah bayang-bayang peneror dan intimidasi halus yang ia lancarkan, membuatku merasakan pengalaman akan sensasi baru yang sebenarnya jika jujur, selalu kucari. Hanya saja, harga diriku yang tersisa, tidak ingin mengakuinya.

Ditambah lagi dengan janji yang belum lama kutetapkan. Yang saat ini dilanda krisis mengenai keterpenuhannya, saat aku melihat bingkisan yang terbungkus kertas cokelat yang tidak sengaja kubawa masuk ke dalam rumah.

Orang mengatakan bahwa jika seseorang berbohong, maka api akan tersulut dari bokongnya dan membakar habis pembohong menjadi abu. Orang pun mengatakan jika seseorang mengingkari janji yang ia buat, maka akan mati dinjak-injak kuda. Mengingat dua hal itu, cukup mengherankan aku masih terduduk di lantai dalam keadaan utuh.

Karena saat ini aku yang menetapkan diri dan berjanji tidak akan lagi menggubris segala provokasi yang dilemparkan oleh penerorku, tergoda untuk mengintip apa yang berada dalam bingkisan berbungkus kertas cokelat yang tergeletak di sisiku.

Ini kulakukan untuk memeriksa apakah berbahaya atau tidak.

Bahkan saat alasan tersebut itu kubuat demi membenarkan diri akan keinginan membuka hadiah yang diberi oleh penerorku, sebagian diriku berpikir akan kemungkinan diriku merupakan burung api.

BlackmailWhere stories live. Discover now